Rabu, 12 Oktober 2016

Cara membuat Jahe Instan


CARA  MEMBUAT   JAHE INSTAN  






Oleh : Dra. Maiyarti
Penggerak Swadaya Masyarakat (PSM) Madya


UPTD. BALAI PELATIHAN TRANSMIGRASI
DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
PROPINSI SUMATERA BARAT



 ALAT DAN BAHAN :

           a.  Alat :
·      Pisau
·      Talenan
·      Blender/parutan
·      Baskom
·      Wajan,pengaduk
·      Ayakan tepung
·      Kompor
·      Sendok Nasi.
·      Kertas minyak



b.      Bahan :

·      Umbi Jahe        : 0,5 kg
·      Gula pasir         :    1 kg
·      Daun pandan   :    4 lbr
·      Sereh                :   3 btg
·      Air 100 ml
·      Garam  ¼ sdt / secukupnya
·      Cengkeh,kulit manis secukupnya.

c.  Cara membuat :

  1.        Pilih jahe yang segar, tidak busuk
  2.      Bersihkan kulitnya dengan pisau
  3.      Cuci rimpang jahe, daun pandan dan sereh sampai bersih dari kotoran ,gunakan air  .
  4.        Haluskan  jahe dengan cara atau diblender
  5.        ambahkan 100 ml air .
  6.        Peras dengan kain saring atau alat lain sampai diperoleh sari jahe sebanyak mungkin
  7.        Masukkan air perasan jahe kedalam wajan
  8.        Tambahkan bahan lainnya dan  ¾  gula pasir dan garam
  9.         Panaskan sari jahe berbumbu diatas api sedang (mendekati kecil) sambil diaduk terus                 menerus sampai kental (terkesan berminyak)
  10.     .  Setelah kental tambahkan 1/4 bagian gula pasir yang masih tersisa sambil terus diaduk              sampai berubah menjadi kering (dalam bentuk serbuk kasar)
  11.       Angkat dan tuangkan diatas tampah yang sudah dialasi kertas minyak
  12.       Haluskan serbuk jahe dalam keadaan panas dengan menggunakan botol  atau   alat lain .
  13.       Ayak serbuk jahe dengan ayakan yang berukuran 60-70 mesh (ayakan tepung).  Jika masih       ada yang belum lolos ayakan dilakukan penghalusan kembali.
  14.       Kemas gula  jahe dalam kemasan plastik atau toples
  15.       Gunakan sarung tangan pada saat pengemasan  
  16.        Beri label  dan siap dipasarkan.  

@@@@@@@@@@


" SELAMAT MENIKMATI ......"

Selasa, 11 Oktober 2016

Manfaat Jahe


MANFAAT JAHE 








 Oleh : Dra. Maiyarti
Penggerak Swadaya Masyarakat (PSM) Madya

  
UPTD. BALAI PELATIHAN TRANSMIGRASI
DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
PROPINSI SUMATERA BARAT



          Jahe (Zingiber officinale), adalah tanaman rimpang yang sangat populer sebagai rempah-rempah dan bahan obat. Rimpangnya berbentuk jemari yang menggembung di ruas-ruas tengah. Rasa dominan pedas disebabkan senyawa keton bernama zingeron. Jahe termasuk suku Zingiberaceae (temu-temuan). Nama ilmiah jahe diberikan oleh William Roxburgh dari kata yunani zingiberi, dari bahasa sangkerta, singaberi. Jahe juga bias di namakan suatu jenis umbi-umbian yang rasanya pedas dan berbau harum. Indonesia dikenal sebagai negara penghasil rempah. Salah satu diantaranya adalah jahe (Zingiber officinale ). Penggunaan jahe itu sendiri sangat beragam yang paling umum adalah sebagai bumbu masak beragam olahan makanan ataupun sebagai bahan minuman yang mempunyai khasiat menghangatkan badan. Pemanfaatan jahe sebagai camilan/panganan masilah sangat jarang. Namun sebenarnya jahe dapat diolah salah satunya sebagai jahe instan.

Membuat Jahe Instan - Jahe memiliki manfaat yang luar biasa bagi kesehatan manusia. Tanaman Jahe mengandung minyak atsiri dan oleoresin yang bisa digunakan untuk bahan kecantikan maupun obat-obatan. Selain itu, jahe juga dapat berfungsi sebagai peluruh lambung, mengobati sakit pinggang dan ecok yang sering menyerang otot, mengobati demam, nyeri, dan muntah-muntah, serta bermanfaat untuk menambah stamina agar tubuh tetap bugar. Oleh karena itu, mengkonsumsi jahe secara ruting sangat baik pengaruhnya bagi kesehatan dan kebugaran tubuh.



JAHE INSTAN
Jahe selain dapat digunakan untuk bumbu masakan, juga sering dikonsumsi sebagai wedang jahe, terutama di daerah dingin untuk menghangatkan tubuh. Di daerah bersuhu dingin, meminum wedang jahe hangat memiliki kenikmatan tersendiri. Namun, kadang kala kita sedikit malas untuk membuat wedang jahe karena memang sediki rumit, apalagi harus membersihkan rimpang terlebih dahulu, kemudian dibakar, sebelum akhirnya jahe direbus. Untuk mengatasi kemalasan itu, salah satu upaya pengolahan jahe adalah dengan membuat jahe instan. Sehingga jahe bisa dibuat minuman dengan mudah sewaktu-waktu membutuhkan.

Jahe Instan merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari subsektor pengolahan hasil pertanian. Selain yang mudah dalam pembuatannya, jahe instan juga memiliki peluang usaha yang cukup besar. Pergeseran pola hidup masyarakat yang cenderung memilih segala sesuatu yang bersifat instan, akan memberi peluang tersendiri untuk pemasaran produk jahe instan. Selain itu, kebutuhan masyarakat terhadap jahe instan juga sangat tinggi, hal ini terbukti dari peningkatan kebutuhan bahan baku jahe dari perusahaan-perusahaan yang memproduksi jahe instan.
Disamping itu, pembuatan jahe instan ini juga bertujuan memberikan nilai tambah terhadap produk pertanian terutama pada pelaku usaha budidaya jahe ketika harga jahe sedang jatuh. Dengan teknik pengolahan jahe instan ini, diharapkan petani memiliki peluang untuk meningkatkan penghasilan, dan merupakan kegiatan subsektor pertanian yang dapat dikerjakan oleh ibu-ibu yang notabenenya berasal dari keluarga petani. Namun, sebetulnya usaha pengolahan hasil ini juga bisa dilakukan secara profesional oleh setiap orang yang mau dan berkeinginan untuk terjun di bidang ini dan memiliki peluang pemasaran yang besar.
Produk instant biasanya dibuat dari buah-buahan, tetapi jahe instant dibuat dari bahan jahe. Jahe instant merupakan bahan kering dengan kadar air sekitar 10 - 20 %, dan kadar gula tinggi (>100%). Kondisi ini memungkinkan jahe instant dapat disimpan lama karena kebanyakan mikroba tidak dapat tumbuh pada bahan. Jahe instant biasanya digunakan dengan cara diseduh dengan air panas dan diminum pada waktu cuaca dingin atau dapat ditambah es yang dapat diminum pada musim panas selain itu juga membantu pencernaan. Jahe instant banyak dikenal oleh masyarakat, dan produk ini belum banyak tersedia di pasaran sehingga peluang usaha pembuatan jahe instant ini terbuka lebar. Pembuatan jahe instant ini merupakan alternatif usaha yang menguntungkan karena cara pembuatannya sederhana, biaya tidak mahal, dan penampilan produk cukup menarik.

                            Padang,     Oktober   2016

Senin, 10 Oktober 2016

Makalah Konsep Pelatihan, Evaluasi dan Bimbingan Pasca Pelatihan Oleh Dra. Maiyarti , PSM Madya

BAB I


PENDAHULUAN

a.       Latar Belakang.
         Pelatihan mempunyai peranan penting dalam pembangunan sumber daya manusia , sehingga tidak terjadi kesenjangan kualitas sumber daya manusia antara yang dibutuhkan dengan kondisi sumber daya yang ada sekarang. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar memiliki sikap, pengetahuan dan keterampilan yang dapat berperan sebagai ekselerator dalam proses pembangunan adalah melalui kegiatan  pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan dan diselaraskan dengan tahapan pembinaan serta bantuan dan paket – paket lainnya seperti bantuan baik berupa materi ataupun  barang yang biasa disebut bantuan pasca pelatihan.
           Untuk mengetahui sejauh mana hasil pelatihan sudah dapat diterapkan oleh alumni dan tingkat efektifitas pelatihan, baik dari segi penyelenggaraan maupun pada system atau metode pembelajaran yang dilaksanakan, pemahaman materi oleh para Instruktur dan Pemandu dalam penyajian materi, serta faktor – faktor yang mempengaruhi dalam penerapan hasil pelatihan, diperlukan kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanan kegiatan pelatihan secara berkesinambungan, selain dari itu seberapa banyak manfaat pelatihan dalam perkembangan, maka perlu dilakukan evaluasi baik evaluasi selama pelaksanaan pelatihan dan sesudah pelatihan.
b.      Pokok Masalah.
          Evaluasi Pasca Pelatihan pada dasarnya merupakan upaya untuk mengetahui sejauh mana hasil yang telah dicapai oleh para alumni pelatihan dan sebagai tolok ukur bagi penyelenggara apakah pelatihan yang dilaksanakan bermanfaat dan dapat di praktekkan  dan diterapkan langsung oleh alumni dilapangan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, masyarakat dan lingkungannya melalui penyebaran hasil pelatihan yang diperoleh.
                         Evaluasi menjadi sangat penting untuk dilaksanakan karena evaluasi akan dapat mengukur tingkat ketercapaian dari program pelatihan yang dilakukan sehingga akan memberikan feed back untuk kelangsungan program pelatihan selanjutnya. Peserta merupakan objek dari pelatihan dan akan merasakan hasil dari pelatihan sehinga evaluasi peserta menjadi sangat menentukan keberlangsungan pelatihan selajutnya. Selain peserta yang menjadi ujung tombak keberhasilan atau ketercapaian program pelatihan adalah instruktur yang memberikan materi pelatihan.
Berdasarkan hal diatas, maka beberapa pokok masalah yang perlu dijelaskan adalah sebagai berikut :
1.      Konsep Pelatihan secara umum
2.      Konsep Pelatihan Transmigrasi.
3.      Konsep Evaluasi Pelatihan di Lembaga Penyelenggara Pelatihan.
4.      Konsep Bimbingan Pasca Pelatihan pada Sistem
       PelatihanTransmigrasi.

c.       Pokok Bahasan.
             Berdasarkan  masalah diatas,maka Pokok Bahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Bagaimana Konsep Pelatihan secara umum.
2.    Bagaimana Konsep Pelatihan Transmigrasi.
3.    Bagaimana Konsep Evaluasi Program Pelatihan
4.    Bagaimana Konsep Bimbingan Pasca Pelatihan pada Sistem
     PelatihanTransmigrasi.
       
d.  Tujuan P enulisan.
     Adapun tujuan dari  penulisan  makalah ini adalah untuk :
1.      Memenuhi nilai kinerja  dalam pengumpulan angka kredit  Penggerak Swadaya Masyarakat pada bulan September  Tahun 2016 pada UPTD. Balai Pelatihan Transmigrasi Provinsi Sumatera Barat.
2.      Menjelaskan tentang  cara Evaluasi Pelatihan pada lembaga Pelatihan dan bimbingan pasca pelatihan pada Sistem   PelatihanTransmigrasi.


e.    Metode Penulisan.
             Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah metode perpustakaan, yakni dengan cara menggunakan referensi mengenai Evaluasi Penyelenggaraan Pelatihan dan Evaluasi Pasca Pelatihan di UPTD.Balai  Pelatihan Transmigrasi Prov. Sumatera Barat,  dan dari internet yang kemudian dirangkum menjadi bentuk makalah ini.

f.       Manfaat Penulisan .
        Manfaat dari karya tulis ini  adalah sebagai berikut :
1.      Menjelaskan  Bagaimana Konsep Pelatihan secara umum.
2.      Menjelaskan Bagaimana Konsep  Pelatihan Transmigrasi.
3.      Menjelaskan bagaimana Konsep Evaluasi Program Pelatihan
4.      Menjelaskan bagaimana Konsep Bimbingan Pasca Pelatihan pada Sistem
 PelatihanTransmigrasi.




@@@@@@@@@@












BAB II



KONSEP PELATIHAN  SECARA UMUM


                           Manusia merupakan makhluk yang dapat berkembang sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Kemampuan yang dimiliki oleh manusia haruslah senantiasa dikembangkan karena jika tidak maka kemungkinan akan terjadi adalah kemunduran bahkan statis. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan tersebut adalah dengan pendidikan dan pelatihan.
a. Pengertian
          Sikula dalam Sumantri (2000:2) mengartikan pelatihan sebagai: “proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir. Para peserta pelatihan akan mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang sifatnya praktis untuk tujuan tertentu”.  Menurut Good, 1973 pelatihan adalah suatu proses membantu orang lain dalam memperoleh skill dan pengetahuan (M. Saleh Marzuki, 1992 : 5). Sedangkan Michael J. Jucius dalam Moekijat (1990 : 2) menjelaskan istilah latihan untuk menunjukkan setiap proses untuk mengembangkan bakat, keterampilan dan kemampuan pegawai guna menyelesaikan pekerjaan-­pekerjaan tertentu.
Definisi pelatihan menurut Center for Development Management and Productivity adalah belajar untuk mengubah tingkah laku orang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Pelatihan pada dasarnya adalah suatu proses memberikan bantuan bagi para karyawan atau pekerja untuk menguasai keterampilan khusus atau membantu untuk memperbaiki kekurangan dalam melaksanakan pekerjaan mereka.




b. Tujuan Pelatihan.

                          Secara umum tujuan pelatihan tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap saja, akan tetapi juga untuk mengembangkan bakat seseorang, sehingga dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Moekijat (1990 : 2) menjelaskan tujuan umum pelatihan sebagai berikut :

1.        Untuk mengembangkan keahliansehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan      lebih cepat dan lebih efektif;

2.        Untuk mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan

secara rasional;

3.        Untuk mengembangkan sikapsehingga menimbulkan kemauan kerjasama  dengan teman-teman pegawai dan dengan manajemen (pimpinan).


       Tujuan pelatihan menurut Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1995 : 223) adalah untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap karyawan serta meningkatkan kualitas dan produktivitas organisasi secara keseluruhan, dengan kata lain tujuan pelatihan adalah meningkatkan kinerja dan pada gilirannya akan meningkatkan daya saing.

c. Manfaat Pelatihan
Manfaat pelatihan beberapa ahli mengemukakan pendapatnya Robinson dalam M. Saleh Marzuki (1992 : 28) mengemukakan manfaat pelatihan sebagai berikut :
1.        Pelatihan sebagai alat untuk memperbaiki penampilan/kemampuan individu atau         kelompok dengan harapan memperbaiki performance organisasi;
2.        Keterampilan tertentu diajarkan agar karyawan dapat melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan standar yang diinginkan;
3.        Pelatihan juga dapat memperbaiki sikap-sikap terhadap pekerjaan, terhadap
pimpinan atau karyawan;
4.        Memperbaiki standar keselamatan.
                       
                         Pelatihan menurut Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana juga memberikan manfaat dalam  mengurangi kesalahan produksi; meningkatkan produktivitas; meningkatkan kualitas; meningkatkan fleksibilitas karyawan; respon yang lebih baik terhadap perubahan; meningkatkan komunikasi; kerjasama tim yang lebih baik, dan hubungan karyawan yang lebih harmonis (1998 : 215).

         


@@@@@@@@@

























BAB III


KONSEP  PELATIHAN TRANSMIGRASI


                 Pada    hakekatnya kegiatan pembinaan masyarakat transmigrasi dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kelompok bidang, yaitu pembinaan bidang Ekonomi, pembinaan bidang Sosial Budaya,  dan pembinaan kualitas SDM Transmigran yang dalam hal ini dilakukan melalui Pelatihan Transmigrasi.
         Pelatihan Transmigrasi adalah kegiatan   yang diprogramkan bagi calon transmigran dan  transmigran . Hal ini secara explisit tercantum dalam UU No. 29 Tahun 2009 pasal 29 tentang Pendidikan dan Pelatihan bagi calon Transmigran dan Transmigran.,yang dimaksud dengan Pelatihan Transmigrasi  adalah  Proses kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan peribahan sikap individu, kelompok dan masyarakat dalam upaya untuk meningkatkan kemampuannya yang hasilnya dapat tercermin dalam kinerjanya dibidang yang dilatihkan.
                  
    a.Tujuan Pelatihan Transmigrasi .
Adapun Tujuan Pelatihan Transmigrasi  adalah bahwa Pelatihan sebenarnya tidak terlepas dari konsep pengembangan sumber daya manusia sebab pendidikan dan pelatihan tersebut merupakan salah satu bagian dari pengembangan sumber daya manusia, dengan tujuan sbb :

1.    Transmigran meningkat kemampuan & produktivitasnya     
2.    Kemandirian Transmigran  terbangun.            .          
3.    Terwujud integrasi di Permukiman Transmigrasi       
                        


                              Pelatihan Transmigrasi yang berdasarkan pada adanya  Pengembangan wilayah permukiman transmigrasi, tidak terlepas dari tujuan peningkatan kualitas permukiman yaitu ditandai dengan adanya peningkatan kualitas kehidupan dan penghidupan masyarakat transmigran yang ditandai adanya peningkatan pendapatan. Sumber daya manusia sebagai tenaga kerja yang mampu mendukung pertumbuhan wilayah tersebut harus memiliki sikap, pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Pemberian bekal sikap, pengetahuan, dan keterampilan bagi para masyarakat sasaran dapat ditempuh dengan memberikan pelatihan, pembangunan, dan inovasi sosial sesuai dengan kebutuhan pembangunan lokasi penempatan. Pelatihan diberikan ketika terjadi suatu kesenjangan antara tingkat kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam pembangunan lokasi transmigrasi dengan tingkat kualitas sumber daya manusia yang ada saat ini. Pelatihan merupakan salah satu unsur  penting  untuk  pembinaan dan pengembangan sumber   daya  manusia   (warga transmigran )    dalam   rangka meningkatkan produktivitas & kesejahteraan   warga transmigran.
Pelatihan transmigrasi telah berlangsung sejak lama sebagai upaya dukungan bagi keberhasilan  masyarakat transmigrasi mengembangkan kehidupannya di daerah baru. Untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan transmigrasi, dirasakan adanya kebutuhan pelatihan transmigrsi, baik oleh trasmigrasi maupun penyelenggaraan trasmigrasi. Suatu pelatihan perlu diberikan kepada transmigran apabila latar belakang pendidikan,pengalaman, dan keterampilan yang diperlukan untuk membuka daerah baru yang berbeda dengan kondisi daerah asalnya. Untuk mengetahui kebutuhan transmigrasi akan pelatihan diperlukan adanya Training Needs assesment atau penelusuran kebutuhan pelatihan.

               Kebutuhan pelatihan transmigrasi akan timbul manakala terdapat berbedaan antara kebutuhan keterampilan dan keterampilan yang dimiliki transmigrasi. Namun kebutuhan pelatihan transmigrasi sangat dipengaruhi pula oleh kondisi pisik lingkungan kawasan transmigrasi dan peluang pasar bagi produk yang dihasilkan transmigrasi (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2005:20).
Para transmigran dari daerah asal sebagian tidak mempunyai pengalaman di bidang pertanian. Sedang mereka yang berpengalaman sebagai petani atau buruh tani terbiasa mengolah lahan yang sudah matang. Sedangkan kondisi lahan di daerah transmigrasi adalah daerah bukan baru yang semula berupa hutan sekunder, lahan alang-alang, atau daerah pasang surut. Kondisi lahan yang demikian memerlukan cara usaha tani baru yang masih harus dipelajari. Sedangkan bagi transmigran penduduk setempat, mereka sudah lebih mengenal kondisi lahan di daerah transmigrasi. Namun pada umumnya mereka belum terbiasa mengolah lahan secara intensif. Disisi lain mereka lebih banyak berlatar belakang bukan petani, tetapi peramu hasil hutan. Dengan mempertimbangkan segala kelemahannya, kepada transmigran masih diperlukan adanya pelatihan dalam upaya memberdayakan transmigran agar mampu mandiri. Namun kiranya dengan latar belakang yang berbeda tersebut diperlukan substansi pelatihan yang berbeda pula. Walaupun pada dasarnya di dasari bahwa pelatihan transmigrasi sangat diperlukan, namun perlu dideteksi secara jeli jenis pelatihan transmigrasi yang diperlukan, agar demikian penyelenggaraan pelatihan transmigrasi dapat dilakukan secara efisien. Terlebih dahulu perlu dipisahkan antara kebutuhan pelatihan bagi calon transmigran dan transmigrannya sendiri. Sementara itu calon transmigran sendiri ada yang berasal dari Pulau Jawa dan Bali, namun juga mereka yang berasal dari penduduk setempat. Pelatihan bagi calon transmigran terutrama  diarahkan pada peningkatan motivasi bertransmigrasi, penjelasan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab transmigran, memberian informasi tentang kondisi kawasan transmigrasi, dan pengenalan budaya masyarakat di
dalam maupun di luar kawasan transmigrasi. Untuk itu materi informasi yang diperlukan untuk pelatihan perlu diperkaya.
Demikian pula para pelatih atau intruktur pelatihan daerah asal harus benar-benar sudah mengenal kondisi kawasan transmigrasi (Departemen Tenaga Kerja dan  Transmigrasi    Republik Indonesia, 2005:21).

b.      Sistem Pelatihan Transmigrasi.
                Pada dasarnya,filosofi pentingnya peranan pelatihan dalam pengembangan sumberdaya manusia (SDM) transmigran dapat dilihat dari adanya kesenjangan  (gap) antara tingkat kualitas SDM yang dibutuhkan dalam rangka pengembangan permukiman transmigrasi dengan kondisi SDM saat ini. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengurangi kesenjangan tersebut dilakukan melalui pelatihan.  Pelatihan untuk daerah transmigrasi harus mempertimbangkan potensi-potensi agribisnis yang sudah berkembang  atau yang potensial  untuk dikembangkan didaerah transmigrasi. Sebagai suatu sistem, maka agribisnis didaerah transmigrasi juga harus dilihat sebagai suatu  proses usaha yang tidak terlepas satu sama lain, dimana antar sub-sistem  di dalam agribisnis  mempunyai keterkaitan yang erat.
Dalam konteks ini , warga transmigran  sebagai pelaku agribisnis didaerah transmigrasi dan wilayah-wilayah sekitarnya harus mampu menguasai sistem agribisnis yang secara utuh, sehingga sistem pelatihan yang dirancang  harus mempertimbangkan  aspek-aspek tersebut.
             
             Pelatihan yang dirancang dalam sistem pelatihan transmigrasi  harus mempertimbangkan  masa pembinaan transmigrasi  5 (lima) tahun (T+1 – T+5), yang kemudian diserahkan ke PEMDA, hal ini  harus dipertimbangkan  dalam penyusunan  sistem pelatihan, dan selama 5 tahun itu terdapat suatu tahapan pembinaan ekonomi transmigran yang sekaligus menunjukkan sasaran peningkatan  pendapatan yang diharapkan dapat dicapai melalui tahapan dan jenis pelatihan yang akan dilaksanakan. Pelatihan  yang ideal   untuk pelatihan transmigrasi adalah pelatihan yang menyesuaikan antara sub-kultur transmigran pada saat didaerah asalnya, pola usaha tani yang telah dikembangkan, potensi wilayah, kebijakan atau input-input  pembangunan dari pemerintah , potensi agribisnis yang telah berkembang dan potensial dapat dikembangkan kemudian, serta pola dan sistem pembinaan daerah transmigrasi, baik pembinaan ekonomi maupun sosial budaya di daerah transmigrasi.

          Secara ringkas, uraian sistem pelatihan  transmigrasi yang akan dikembangkan didaerah transmigrasi dengan mempertimbangkan berbagai aspek diatas, dapat digambarkan sebagai berikut :











      Input
Pembangunan
 




Tahun Pembinaan
Tahapan  dan                                 
Proses Pelatihan 
                                Tahap Penyesuaian      Tahap Pengembangan       Tahap  Pemantapan    


SDM

SDM



SDM

SDM



SDM

SDM



SDM

SDM

 





         Proses Pelatihan

Daerah Tujuan

Daerah Transmigrasi
Berbasis Agribisnis

Daerah asal
 



                                                                      
                                                                          Pembangunan
                Kondisi Awal                                     Agribisnis

Sistem Pelatihan yang akan dikembangkan di daerah Transmigrasi
c.       Posisi Pelatihan dalam Pengembangan Masyarakat Transmigrasi.
            Dalam sistem  Pelatihan Transmigrasi telah  dikembangkan suatu  perencanaan  yang terpadu yakni dengan dilaksanakan Training Needs Assessment (TNA)  yakni Penelusuran Kebutuhan Pelatihan  yang mengakomudir kebutuhan warga transmigran. Kegiatan TNA ini merupakan tahap awal  dari daur proses pelatihan (training cycles by process)  dimana akan berurutan dan tiap proses  saling berpengaruh satu sama lain.
TNA dilaksanakan guna meningkatkan kualitas dan efektifitas  penyelenggaraan pelatihan  bagi transmigrasi dan agar paket-paket pelatihan yang diprogramkan betul-betul sesuai  dengan kebutuhan warga transmigran sehingga berdampak efektif  terhadap pembinaan masyarakat  transmigran secara keseluruhan serta bermanfaat bagi warga transmigran.
Secara umum  penilaian kebutuhan pelatihan adalah suatu proses kegiatan yang bertujuan untuk menemukenali ( mengidentifikasi) adanya kesenjangan  (gap) dalam bentuk pengetahuan, keterampilan maupun sikap pada suatu kelompok  kerja atau  komunitas   masyarakat tertentu  yang dapat dihilangkan atau dikurangi  melalui kegiatan  pelatihan dengan TNA diharapkan dapat menemukan daur yang kuat dan ilmiah dalam penyusunan rancangan pelatihan yang tepat, akurat dan sistematis serta komprehensif  dalam rangka  penyusunan  program pelatihan yang efektif. Manfaat yang dapat dipetik  dari proses perencanaan program yang didahului oleh TNA antara lain : meningkatkan efektifitas pelatihan, memudahkan pengukuran terhadap keberhasilan pelatihan, serta memudahkan perbaikan program pelatihan.
           
Konsep Model Pelatihan sebagai suatu proses yang Integral

1
Proses Penilaian Kebutuhan Pelatihan

5
Proses Evaluasi  Pelatihan

4
Proses Pelaksanaan  Pelatihan

3
Proses Perencanaan Program  Pelatihan

2
Proses Penentuan
Tujuan  Pelatihan
 














d.      Pelatihan Berbasis Agribisnis .
           Sistem  agribisnis pada dasarnya adalah suatu cara baru melihat pertanian dalam wawasan yang lebih luas. Cara baru melihat pertanian ini perlu diperkenalkan  dan dimasyarakatkan agar kita semua, dari  petani  hingga para pembuat  kebijakan serta masyarakat luas, jangan salah melihat pertanian itu sebagai suatu sektor yang kurang nilainya dibandingkan dengan sektor lain  seperti industri manufaktur, pertambangan, jasa-jasa, pariwisata dan lain-lain. Kenyataannya, krisis yang kita hadapi dewasa ini  juga berawal dari  kekeliruan melihat dan menempatkan  pertanian dan pedesaan  dalam konteks pembangunan nasional  ; secara khusus , yang menyangkut kebijakan industrialisasi  dan pengembangan tekhnologi, kebijakan dalam nilai tukar, keberpihakan yang tidak pas, dan lain-lain.
Jika dulu kita melihat pertanian terbatas pada kegiatan ditingkat usaha tani untuk menghasilkan produk primer, maka dalam wawasan agribisnis  kita harus bisa melihat keterkaitan antara sistem yang mendukung  di hulu, yang menarik dihilir serta sistem pendukung yang berupa berbagai layanan kebijakan . Dengan  kata lain :


Sistem  agribisnis  menyangkut seluruh  kegiatan yang dilibatkan sejak dari pembuatan dan distribusi berbagai input  dan alat-alat pertanian, kegiatan produksi ditingkat usahatani ;  serta penyimpanan, pengolahan dan distribusi barang-barang pertanian dan yang terbuat dari barang-barang pertanian tersebut (Drillon,Jr.1971)
 
   @@@@@@@@@ @

Contohnya adalah seperti Agribisnis komoditas kopi, kebutuhan hulu dan hilirnya, bahwa kebutuhan di hulu adalah tersedianya bibit yang bermutun serta input lain  seperti pupuk,pestisida dll.  Wujud pengolahan di hilir  berbeda dengan padi karena mesin  pembuatan bubuk kopi secara utuh tidak sama dengan mesin  penggilingan padi. Dinegara-negara maju kegiatan dihilir ini telah beberapa lebih maju diantaranya pembuatan kopi instan seperti Nescafe, Indocafe, dan lain-lain.
Untuk  ternak sapi potong, kegiatan terpenting dihulu adalah penyediaan pakan konsentrat dan hijauan, bahkan juga semen  (sperma)  untuk peningkatan keunggulan sapi tersebut. Tanpa dukungan tersedianya pakan hijauan dan
konsntrat yang memadai mustahil akan bisa mengembangkan ternak yang secara finansial menguntungkan peternak/transmigran. Untuk dihilir, diperlukan kegiatan  pemrosesan baik ; adanya RPH (Rumah Pemotongan Hewan) untuk menjual daging segar, daging kaleng, maupun dalam bentuk lain seperti bakso. Sistem distribusi juga sangat menentukan seperti misalnya untuk menjual daging segar/beku keluar daerah/luar negeri. Ini harus didukung oleh kegiatan pemotongan dan sortasi yang tepat agar menguntungkan.
Untuk sapi perah lain lagi  komponen-komponen  kegiatan dan kebutuhannya dari hulu sampai kehilir. Demikian pula untuk ayam petelur, ayam pedaging, ikan, kelapa dan komoditas pertanian lainnya.
Apa yang selama ini kurang diperhatikan  dalam program transmigrasi adalah wawasan pengembangan agribisnis seperti diatas. Tetapi untuk mengidentifikasi  dan mengembangkan kegiatan diatas, bukan semata-mata tugas transmigrasi, yang terpenting adalah bagaimana meningkatkan pendapatan transmigran dari pengembangan agribisnis tersebut. Salah satunya adalah agar transmigran bisa menguasai paling tidak sebagian dari kegiatan hulu atau di hilir ; bahkan mencakup keduanya. Misalnya untuk ternak sapi potong, ayam petelur dan pedaging, sangat strategis dan besar artinya bila peternak /warga transmigran menguasai pembuatan dan penyediaan pakan. Apabila ada kemmapuan , beberapa kegiatan dihilir juga bisa dicoba dikuasai oleh transmigran seperti pemotongan dan pemasaran ayam pedaging.
e.       Pentingnya kegiatan TNA.
        Pengembangan suatu lokasi atau daerah transmigrasi sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang saling terkait,antara lain potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia (warga dan masyarakat sekitar) potensi pasar (lokal atau regional), kebijakan-kebijakan pemerintah (input-input pembangunan) sumber daya buatan (permodalan,sarana dan prasarana). Faktor-faktor ini sangat relevan digunakan dalam kegiatan Penelusuran Kebutuhan Pelatihan bagi warga transmigran.Dalam hal ini, pendekatan penelusuran dari bawah ( bottom-up) digabungkan dengan pendekatan yang berasal dari atas (top-down).
Dengan  menggabungkan  kedua pendekatan ini, diharapkan kegiatan penelusuran yang akan  dilakukan dapat lebih mencapai tujuan dan  sasaran. Selanjutnya , melalui kegiatan penelusuran pelatihan bagi warga transmigrasi diharapakn berbagai bentuk-bentuk pelatihan  yang lebih bersifat spesifik lokal dan benar-benar dibutuhkan dapat diidentifikasi dan dikembangkan ke dalam bentuk kurikulum-kurikulum pelatihan.

@@@@@@@@@@














BAB IV
  
KONSEP EVALUASI PELATIHAN


a.      Pengertian.

               Secara harfiah kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation; dalam bahasa Arab; al-taqdir; dalam bahasa Indonesia berarti; penilaian. Akar katanya adalah value; dalam bahasa Arab; al-qimah; dalam bahasa Indonesia berarti; nilai.
Dalam Wikipedia Evaluasi (bahasa Inggris:Evaluation) adalah proses penilaian, sedang dalam perusahaan evaluasi dapat diartikan sebagai proses pengukuran akan efektifitas strategi yang digunakan dalam upaya  mencapai  tujuan perusahaan.  Data yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut akan digunakan sebagai analisis situasi program berikutnya.
Secara garis besar, proses evaluasi terbagi menjadi di awal (pretest) dan diakhir (posttest). Pretest merupakan sebuah evaluasi yang diadakan untuk menguji konsep dan eksekusi yang direncanakan. Sedangkan, posttest merupakan evaluasi yang diadakan untuk melihat tercapainya tujuan dan dijadikan sebagai masukan untuk analisis situasi berikutnya.
Untuk mencapai evaluasi tersebut dengan baik, diperlukan sejumlah tahapan yang harus dilalui yakni menentukan permasalahan secara jelas, mengembangkan pendekatan permasalahan, memformulasikan desain penelitian, melakukan penelitian lapangan untuk mengumpulkan data, menganalisis data yang diperoleh, dan kemampuan menyampaikan hasil evaluasi.
b. Tujuan Evaluasi
          Menurut Suharsimi Arikunto (2004 : 13) ada dua tujuan evaluasi yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum diarahkan kepada program secara keseluruhan sedangkan tujuan khusus lebih difokuskan pada masing-masing komponen. Implementasi program harus senantiasa di evaluasi untuk melihat sejauh mana program tersebut telah berhasil mencapai maksud pelaksanaan program yang telah ditetapkan sebelumnya. Tanpa adanya evaluasi, program-program yang berjalan tidak akan dapat dilihat efektifitasnya.
Dengan demikian, kebijakan-kebijakan baru sehubungan dengan program itu tidak akan didukung oleh data. Karenanya, evaluasi program bertujuan untuk menyediakan data dan informasi serta rekomendasi bagi pengambil kebijakan (decision maker) untuk memutuskan apakah akan melanjutkan, memperbaiki atau menghentikan sebuah program.
Ditinjau dari bentuk-bentuk evaluasi, maka evaluasi bertujuan untuk, evaluasi formatif untuk bertujuan untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan yang sedang berjalan, sedang evaluasi sumatif bertujuan untuk pertanggungjawaban, keterangan, seleksi dan lanjutan. Menurut Stufflebeam yang membagi evaluasi kepada proactive evaluation, yakni melayani pemegang keputusan, sedangkan retroactive evaluation bertujuan untuk keperluan pertanggungjawaban.
Jadi, evaluasi hendaknya bertujuan dalam membantu pengembangan, implementasi, kebutuhan suatu program, perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan dan dukungan dari stakeholders.
Salah satu tujuan evaluasi (Sujono, 2007 : 25) adalah;
1.      Untuk memperoleh dasar bagi pertimbangan akhir suatu periode kerja, apa yang
       telah dicapai, apa yang belum dicapai, dan apa yang perlu mendapat perhatian  
      khusus.
2.      Untuk menjamin cara kerja yang efektif dan efisien yang membawa organisasi
      pada penggunaan sumber daya yang dimiliki secara efesien dan ekonomis.
3.      Untuk memperoleh fakta tentang kesulitan, hambatan, penyimpangan dilihat dari aspek-aspek tertentu
.




c. Fungsi Evaluasi
    Adapun fungsi evaluasi program Menurut scriven (1967:225) adalah sebagai berikut:
1.    Fungsi Formatif yaitu evaluasi dipakai untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan yang sedang berjalan (program, orang, produk, dsb).
2.    Fungsi sumatif yaitu evaluasi dipakai untuk pertanggungjawaban, keterangan, seleksi atau lanjutan. Jadi evaluasi hendaknya membantu pengembangan, implementasi, kebutuhan suatu program, perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan dan dukungan dari mereka yang terlibat.
3.    Fungsi diagnostik yaitu untuk mendiagnostik sebuah program.

Stuffebeam menyatakan ada dua fungsi evaluasi program, yaitu:
1.    Proactive Evaluation yaitu evaluasi program yang dilakukan untuk melayani pemegang keputusan
2.    Retroactive Evaluation yaitu evaluasi program yang dilakukan untuk keperluan pertanggung jawaban.

d.Konsep Evaluasi Pelatihan.
            Untuk sebuah lembaga pelaksana Pelatihan, evaluasi sejatinya terdiri dari evaluasi awal  pembelajaran (pretest), dengan tujuan untuk melihat sejauh mana penguasaan peserta atas materi yang akan diikuti , kemudian evaluasi akhir (post test) untuk melihat sejauh mana penguasaan materi yang telah diterima peserta dari proses dan penyampaian materi pembelajaran tersebut. Kedua evaluasi ini dilaksanakan dikelas, baik dari segi penyelenggaraan maupun pada system atau metode pembelajaran yang dilaksanakan.
Kemudian, untuk mengetahui sejauh mana hasil pelatihan sudah dapat diterapkan oleh alumni dan tingkat efektifitas pelatihan, serta faktor – faktor yang mempengaruhi dalam penerapan hasil pelatihan, diperlukan kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanan kegiatan pelatihan secara berkesinambungan, selain dari itu seberapa banyak manfaat pelatihan dalam perkembangan usaha atau seberapa besar hasil pelatihan telah dapat menunjang keberhsilan pekerjaan alumni , maka sangat perlu dilakukan evaluasi selanjutnya yaitu Evaluasi Pasca Pelatihan yang dilaksanakan ± 6 bulan setelah pelatihan dilaksanakan.
 Evaluasi Pasca Pelatihan pada dasarnya merupakan upaya untuk mengetahui sejauh mana hasil yang telah dicapai oleh para alumni pelatihan dan sebagai tolok ukur bagi penyelenggara apakah pelatihan yang dilaksanakan bermanfaat dan dapat di praktekkan langsung oleh alumni dilapangan untuk meningkatkan kesejahteraan dan lingkungannya melalui penyebaran hasil pelatihan yang diperoleh.
e. Sasaran dan ruang lingkup.
          Kegiatan Evaluasi Pasca Pelatihan antara lain bertujuan untuk  :
    1. Untuk  mengetahui  sejauh  mana  tingkat   efektifitas  penyelenggaaraan    
          Pelatihan yang telah dilaksanakan .
2.Untuk mengetahui apakah dengan metode dan kurikulum serta waktu    pelatihan  sudah tepat dan sesuai dengan kebutuhan  masyarakat .
       3. Untuk  mengetahui  kendala – kendala  yang  dihadapi  alumni  pelatihan dalam menerapkan     hasil pelatihan yang diperolehnya.

                Dari segi   Ruang lingkup Evaluasi Pasca Pelatihan adalah bahwa evaluasi Pasca dilaksanakan di  tempat/lokasi dimana peserta berada/tempat dimana peserta menerapkan ilmunya. Jumlah   Responden ideal yang dievaluasi adalah sebanyak  50 %  atau minimal 20 %  dari jumlah alumni Pelatihan .

f.Model-model Evaluasi Program Pelatihan
                     Ada  banyak  model  evaluasi  yang  dikembangkan  oleh  para  ahli  dan  dapat dipakai dalam mengevaluasi  program pelatihan. Kirkpatrick, salah  seorang ahli evaluasi program training dalam bidang pengembangan SDM selain menawarkan model evaluasi yang diberi  nama Kirkpatrick’s  training  evaluation model juga menunjuk  model-model lain  yang  dapat  dijadikan  sebagai  pilihan  dalam mengadakan  evaluasi  terhadap  sebuah program training. Model-model yang ditunjuk tersebut di antaranya adalah :
·                      Five Level ROI Model (Jack PhillPS’)
·                      CIPP Model (Daniel Stufflebeam’s)
·                      Responsive Evaluation Model (Robert Stake’s)
·                      Congruence-Contingency Model (Robert Stake’s)
·                      Five Levels of Evaluation (Kaufman’s)
·                      CIRO (Context, Input, R eaction, Outcome)
·                      PERT (Program Evaluation and Review Technique)
·                      Goal-Free Evaluation Approach (Michael Scriven’s)
·                      Discrepancy Model (Provus’s)
 Dari  berbagai  model  tersebut  di  atas  dalam  tulisan  ini  hanya  akan  diuraikan secara singkat beberapa model. Model yang diungkapkan Djuju Sudjana (2006: 225), yaitu:

A. Evaluasi model CIPP
1.      Konsep   evaluasi   model   CIPP   ( Context,  Input, Prosess   and- Product)   pertama    kali   ditawarkan   oleh  Stufflebeam  pada  - tahun  1965   sebagai    hasil   usahanya   mengevaluasi      ESEA- (the  Elementary  and  Secondary  Education  Act). 
2.      Konsep  tersebut    ditawarkan  oleh   Stufflebeam  dengan pandangan- bahwa    tujuan  penting evaluasi adalah  bukan membuktikan tetapi untuk memperbaiki.

           The  CIPP  approach is based  on  the  view  that  the  most  important-  purpose  of  evaluation  is  not  to  prove but  to  improve (Madus, Scriven,-  Stufflebeam,  1993:  118).  Evaluasi  model   CIPP dapat  diterapkan  dalam- berbagai      bidang,    seperti    pendidikan,    manajemen,          perusahaan- serta     dalam    berbagai     jenjang  baik     itu  proyek,          program  atau institusi dan  sebagainya  serta  dalam  berbagai  jenjang  baik  itu  proyek,-         program  atau institusi .

Dalam     bidang      pendidikan      Stufflebeam    menggolongkan-    sistem  pendidikan  atas  4   dimensi,  yaitu context, input,  process    dan-    product  sehingga model  evaluasi  yang  ditawarkan  diberi  nama   CIPP-     model  yang- merupakan    singkatan  ke    empat  dimensi  tersebut-    Nana  Sudjana    &-Ibrahim   (2004:  246)   menterjemahkan   masing -. 
                            masing dimensi tersebut dengan makna sebagai berikut:
1.    Context : situasi  atau  latar  belakang  yang  mempengaruhi  jenis-jenis tujuan dan  strategi  pendidikan  yang  akan  dikembangkan- dalam  sistem yang  bersangkutan,-  seperti  misalnya  masalah  pendidikan- yang dirasakan, keadaan ekonomi negara, pandangan hidup masyarakat .
2.    Input: sarana/modal/bahan  dan  rencana  strategi  yang  ditetapkan  untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan.
3.    Process:  pelaksanaan strategi dan penggunaan sarana/modal/ bahan di dalam kegiatan nyata di lapangan.
4.    Product : hasil  yang  dicapai  baik  selama  maupun  pada  akhir- pengembangan sistem pendidikan  yang bersangkutan.

                         B. Evaluasi model Brinkerhoff

Setiap desain evaluasi pada umumnya terdiri dari elemen-elemen yang sama, ada  banyak  cara  untuk  menggabungkan- elemen  tersebut,  masing-masing  ahli evaluasi atau evaluator  mempunyai  konsep yang  berbeda dalam  hal ini. Brinkerhoff &  CS (1993:111),  mengemukakan  tiga  golongan- evaluasi  yang  disusun  berdasarkan penggabungan  elemen-elemen  yang  sama,  seperti  evaluator -evaluator  yang  lain, namun dalam komposisi dan versi mereka sendiri sebagai berikut :


1. Fixed vs Emergent Evaluation Design

Desain  evaluasi  yang  tetap  (fixed)  ditentukan  dan  direncanakan  secara sistematik sebelum  implementasi dikerjakan. Desain dikembangkan  berdasarkan tujuan  program disertai  seperangkat  pertanyaan  yang  akan  dijawab  dengan informasi  yang  akan diperoleh  dari  sumber-sumber  tertentu.  Rencana  analisis dibuat  sebelumnya  dimana sipemakai  akan  menerima  informasi  seperti  yang telah  ditentukan  dalam  tujuan. Walaupun  desain fixed ini  lebih  terstuktur daripada desain emergent, desain fixed juga dapat disesuaikan dengan kebutuhan yang  mungkin  berubah.  Kebanyakan  evaluasi  formal  yang dibuat  secara individu dibuat berdasarkan desain fixed,  karena  tujuan  program  telah ditentukan  dengan  jelas  sebelumnya, dibiayai  dan  melalui  usulan  atau  proposal evaluasi. (Brinkerhoff &  CS, 1993:111).


2.Formative vs  Sumative Evaluation

Evaluasi  formatif  digunakan  untuk  memperoleh  informasi  yang  dapat membantu memperbaiki  program.  Evaluasi  formatif  dilaksanakan  pada  saat implementasi  program sedang  berjalan.  Fokus evaluasi berkisar pada kebutuhan yang dirumuskan oleh karyawan atau orang-orang program.  Evaluator  sering merupakan  bagian  dari  pada  program  dan kerjasama  dengan  orang-orang program.  Strategi  pengumpulan  informasi  mungkin  juga dipakai  tetapi penekanan  pada  usaha  memberikan  informasi  yang  berguna  secepatnya bagi perbaikan  program. evaluasi  sumatif  dilaksanakan  untuk  menilai  manfaat  suatu program sehingga  dari  hasil  evaluasi  akan  dapat  ditentukan- suatu  program  tertentu  akan diteruskan  atau  dihentikan.

Pada evaluasi sumatif difokuskan pada variable-variabel yang dianggap penting bagi sponsor program maupun pihak pembuat keputusan. Evaluator luar atau tim reviu sering dipakai karena evaluator internal dapat mempunyai kepentingan yang berbeda.


Waktu  pelaksanaan evaluasi sumatif terletak pada akhir implementasi program.  Strategi pengumpulan informasi akan memaksimalkan validitas eksternal  dan internal  yang mungkin dikumpulkan dalam waktu yang cukup lama. (Nana  Sudjana  &  Ibrahim, 2004:  246).


3.Experimental and Quasi experimental Design vs Naural/Unotrusive.

           Beberapa  evaluasi  memakai  metodologi  penelitian  klasik.  Dalam  hal seperti  ini  subyek penelitian  diacak,  perlakuan  diberikan  dan  pengukuran dampak  dilakukan.  Tujuan dari penelitian  untuk menilai  manfaat suatu  program yang  dicobakan. 

  Apabila  siswa  atau program  dipilih  secara  acak,  maka generalisasi  dibuat  pada  populasi  yang  agak  lebih luas. Dalam  beberapa  hal intervensi  tidak  mungkin  dilakukan  atau  tidak  dikehendaki.

 Apabila  proses sudah  diperbaiki,  evaluator  harus  melihat  dokumen-dokumen, seperti mempelajari  nilai  tes   atau   menganalisis-   penelitian-  yang  dilakukan  dan sebagainya.

  Strategi  pengumpulan  data  terutama  menggunakan  instrument formal  seperti  tes,   suvey, kuesioner  serta  memakai  metode  penelitian  yang terstandar. (Nana  Sudjana  &  Ibrahim, 2004:  246).


C. Evaluasi model Kirkpatrick

Menurut  Kirkpatrick  (Djuju Sudjana 2006:246)   evaluasi  terhadap- efektivitas  program  training mencakup empat level evaluasi, yaitu: level 1 – Reaction, level 2 – Learning, level 3– Behavior,  level 4 – Result


1. Evaluating Reaction

         Mengevaluasi  terhadap  reaksi  peserta  training  berarti  mengukur kepuasan  peserta (customer  satisfaction).    Program  training  dianggap  efektif apabila  proses  training  dirasa menyenangkan  dan memuaskan  bagi  peserta training sehingga mereka  tertarik  termotivasi untuk  belajar  dan berlatih.

 Dengan kata  lain peserta training akan termotivasi apabila  proses training berjalan secara memuaskan bagi peserta yang pada akhirnya akan memunculkan reaksi  dari peserta  yang  menyenangkan.  Sebaliknya  apabila  peserta  tidak  merasa  puas terhadap  proses  training  yang  diikutin ya  maka  mereka  tidak  akan termotivasi untuk  mengikuti  training  lebih  lanjut.  Dengan  demikian  dapat  dimaknai  bahwa keberhasilan  proses  kegiatan  training  tidak  terlepas  dari  minat,  perhatian  dan motivasi peserta  training  dalam  mengikuti  jalannya  kegiatan  training.  Orang akan  belajar  lebih  baik  manakala  mereka  memberi  reaksi  positif  terhadap lingkungan belajar. (Djuju Sudjana 2006:247)

Kepuasan peserta training dapat dikaji dari beberapa aspek,  yaitu materi yang  diberikan, fasilitas  yang  tersedia, strategi  penyampaian materi yang digunakan  oleh  instruktur, media  pembelajaran  yang  tersedia,  jadwal  kegiatan sampai menu dan penyajian konsumsi yang disediakan. (Djuju Sudjana 2006:248).

 

2.Evaluating Learning

                     Menurut Kirkpatrick  (1988:  20) learning can be  defined as  the  extend to which  participans change  attitudes,  improving  knowledge,  and/or increase  skill as  a result  of  attending  the program. Ada tiga hal yang dapat instruktur ajarkan dalam –

program training, yaitu pengetahuan,  sikap  maupun  ketrampilan.  Peserta training  dikatakan  telah  belajar  apabila pada dirinya telah mengalamai perubahan sikap, perbaikan pengetahuan maupun peningkatan ketrampilan. Oleh karena  itu  untuk  mengukur  efektivitas  program  training maka  ketiga  aspek tersebut  perlu  untuk  diukur.

 

 

 

Tanpa adanya  perubahan sikap, peningkatan pengetahuan maupun  perbaikan  ketrampilan pada  peserta  training  maka program  dapat  dikatakan  gagal.  Penilaian evaluating  learning ini  ada  yang menyebut  dengan  penilaian  hasil  (output)  belajar.  Oleh  karena  itu  dalam pengukuran  hasil  belajar  (learning   measurement)  berarti  penentuan  satu  atau lebih  hal berikut: a).  Pengetahuan apa yang telah dipelajari ?, b). Sikap  apa  yang telah berubah ?, c). Ketrampilan apa yang telah dikembangkan atau diperbaiki ?. (Djuju Sudjana 2006:249).


3.Evaluating Behavior.

Evaluasi  pada  level  ke  3  (evaluasi  tingkah  laku)  ini  berbeda  dengan evaluasi  terhadap sikap  pada  level  ke  2.  Penilaian  sikap  pada  evaluasi  level  2 difokuskan  pada perubahan sikap  yang  terjadi  pada  saat  kegiatan  training dilakukan  sehingga  lebih  bersifat  internal, sedangkan  penilaian  tingkah  laku difokuskan  pada  perubahan  tingkah  laku  setelah peserta  kembali  ke  tempat kerja. Apakah perubahan sikap yang telah terjadi setelah mengikuti  training juga akan  diimplementasikan  setelah  peserta  kembali  ke  tempat  kerja, sehingga penilaian  tingkah  laku  ini  lebih  bersifat  eksternal.

Perubahan  perilaku  apa  yang terjadi  di  tempat kerja  setelah  peserta  mengikuti  program training.  Dengan  kata lain  yang  perlu  dinilai  adalah  apakah  peserta  merasa  senang setelah  mengikuti training  dan  kembali  ke  tempat  kerja?.  Bagaimana  peserta  dapat mentrasfer pengetahuan,  sikap  dan  ketrampilan  yang  diperoleh  selama  training  untuk diimplementasikan  di  tempat  kerjanya.  Karena  yang  dinilai  adalah  perubahan perilaku setelah  kembali ke  tempat  kerja maka  evaluasi level 3  ini  dapat disebut sebagai evaluasi terhadap outcomes dari kegiatan training. (Djuju Sudjana 2006:249)

 


4.Evaluating Result.

Evaluasi  hasil  dalam  level  ke  4  ini  difokuskan  pada  hasil  akhir  (final result)  yang  terjadi karena  peserta  telah  mengikuti  suatu  program.  Termasuk dalam  kategori  hasil  akhir  dari suatu  program  training  di  antaranya  adalah

kenaikan  produksi,  peningkatan  kualitas, penurunan  biaya,  penurunan  kuantitas terjadinya  kecelakaan  kerja,  penurunan turnover dan  kenaikan  keuntungan. Beberapa  program  mempunyai  tujuan  meningkatkan moral  kerja  maupun membangun  teamwork  yang  lebih  baik.  Dengan  kata  lain  adalah evaluasi terhadap impact program. (Djuju Sudjana 2006:250).


D. Evaluasi model Stake (Model Countenance).

            Stake menekankan adanya dua dasar kegiatan dalam evaluasi, yaitu description dan judgement dan membedakan  adanya  tiga  tahap dalam program pelatihan,  yaitu antecedent  (context), transaction  (process)  dan outcomes.  Stake mengatakan  bahwa  apabila  kita  menilai  suatu   program  pelatihan,  kita  melakukan perbandingan  yang  relatif  antara  program  dengan  program  yang  lain,  atau perbandingan  yang  absolut  yaitu  membandingkan  suatu  program  dengan  standar tertentu.  Penekanan  yang  umum  atau  hal  yang  penting  dalam  model  ini  adalah bahwa  evaluator  yang  membuat  penilaian  tentang  program  yang  dievaluasi.  Stake mengatakan  bahwa description di  satu  pihak  berbeda  dengan judgement di  lain fihak. Dalam  model  ini antecendent (masukan) transaction (proses)  dan outcomes (hasil)  data di  bandingkan  tidak  hanya  untuk  menentukan  apakah  ada  perbedaan antara  tujuan  dengan  keadaan  yang  sebenarnya,  tetapi  juga  dibandingkan  dengan standar  yang  absolut  untuk  menilai  manfaat  program (Farida  Yusuf  Tayibnapis, 2000: 22).


E. Evaluasi Pelatihan Transmigrasi.
              Pada masalah pelatihan transmigrasi, secara  umum dapat dipahami bahwa untuk mengukur keberhasilan pembinaan yang bersifat  phisyk material  bagi transmigran relatif lebih mudah  dilakukan,namun  untuk pembinaan yang sifatnya non fisik seperti peningkatan kualitas SDM melalui kegiatan pelatihan relatif cukup sulit, sebab memerlukan cara-cara tersendiri  yang telah diatur secara baku dalam  manajemen pelatihan (Training Management).

                 Guna mengukur tingkat keberhasilan yang pada hakekatnya merupakan human interest ( investasi yang ditanamkan pada SDM Transmigran)  diperlukan tekhnik-tekhnik tersendiri sejalan dengan proses daur ulang (Training cycles by process) yang meliputi 5 (lima) tahapan proses, yaitu  :
1.     Penelusuran Kebutuhan Pelatihan (Training Needs Assessment/TNA).
2.     Penentuan Tujuan Pelatihan  (Training Objektif Define/TOD).
3.     Perencanaan  Program Pelatihan (Training Programme Disigne /TPD).
4.     Pelaksanaan Pelatihan  ( Training Implementation/TI).
5.     Evaluasi Pelatihan (Training Evaluation/TI).
Satu sama lain saling  terkait dan saling mempengaruhi. Selain itu dalam mengukur keberhasilan Pelatihan juga harus diukur kinerja (Performance) warga transmigran dimaksud pada saat sebelum pelatihan, selama pelatihan dan sesudah (pasca) pelatihan  dengan cara-cara tertentu yang sesuai dengan kaidah-kaidah dalam manajemen pelatihan.
a.       Evaluasi Peserta Pelatihan.

             Evaluasi peserta pelatihan adalah evaluasi yang bertjuan untuk mengetahui dan mencari informasi mengenai ketercapaian program pelatihan dilihat dari peningkatan kemampan atau kopetensi baik bagi instruktur maupun  peserta pelatihan. 

Evaluasi Kemajuan Peserta merupakan evaluasi yang dilaksanakan untuk mengetahui peningkatan peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui Pretest (Evaluasi awal pelatihan) dan Post Test (Evaluasi akhirl pelatihan)

Dari hasil Pretest dan Post Test diketahui bahwa pengetahuan yang mereka miliki dapat lebih dikembangkan dan ditingkatkan melalui keterlibatan mereka dalam mengikuti pelatihan.

Terdapat tiga langkah evaluasi pelatihan dengan menggunakan instrumen  evaluasi dan rancangannya tergantung dari langkah evaluasi apa yang akan dilakukan. Langkah langkah tersebut antara lain:



        a.Evaluasi awal pelatihan;

  Evaluasi ini dilakukan sebelum pelatihan dimulai dengan tujuan untuk :

 (1).Mengetahui reaksi peserta terhadap materi yang diberikan; 

 (2). Mengetahui tingkat pengetahuan atau tingkat kompetensi teknis peserta;

 (3). Sebagai informasi bagi pelatih.


b.Evaluasi proses pelatihan. Tujuannya adalah

 (1). Mengetahui reaksi peserta terhadap sebagian atau keseluruhan program pelatihan; (2). Mengetahui hasil pembelajaran peserta;

 (3). Mengantisipasi tindakan tertentu ketika diperlukan untuk mengambil langkah-

      langkah perbaikan.


c.Evaluasi program pelatihan.

   Adapun tujuan dari Evaluasi program pelatihan    adalah :

  (1). Mengetahui hasil pelaksanaan pelatihan dan pengaruhnya terhadap kinerja serta    masalah-masalahnya;

 (2) Mengetahui opini pemimpin dan bawahan peserta mengenai hasil pelatihan;

 (3) Mengetahui hubungan hasil pelatihan serta dampaknya bagi organisasi di tempat   peserta bekerja. (Moekijat, 1990:20).


     d. Evaluasi setelah pelatihan (Pasca Pelatihan)

 Evaluasi setelah pelatihan pada tingkat perilaku dalam pekerjaan sangat penting, karena belum  tentu pengetahuan dan pengalaman pembelajaran yang diperoleh dapat diterapkan dalam pekerjaan, tetapi perilaku yang baik dalam pekerjaan merupakan gabungan dari pengetahuan, keterampilan dan sikap. Untuk mengetahui seberapa jauh peserta mengadakan perubahan perilaku dalam pekerjaan setelah mengikuti pelatihan, evaluasi hendaknya dilaksanakan oleh beberapa pihak, antara lain: peserta sendiri, atasan peserta, bawahan peserta, teman sekerja dan pasen serta masyarakat. (Moekijat, 1990:25).

Salah satu tehnik evaluasi setelah pelatihan yang berhubungan dengan perilaku adalah pendekatan terhadap evaluasi(Moekijat, 1990:27) dengan 3 langkah evaluasi:


1.Evaluasi oleh peserta segera setelah pelatihan dengan menggunakan daftar isian..

2.Evaluasi  oleh peserta 4 bulan setelah pelatihan dengan menggunakan daftar  

   isian.   

                3 Evaluasi peserta dengan supervisornya 6 bulan setelah pelatihan dengan tehnik wawancara terpola dan pertanyaannya meliputi: tujuan pelatihan, metoda,isi dan pendapat mengenai penerapannya.


Bagi peserta pelatihan , evaluasi  dapat memberikan feedback berupa seberapa signifikannya pelatihan  tersebut mempunyai impact/dampak  bagi pekerjaannya, perubahan bagi dirinya, kecocokan program dan manfaat-manfaat lainnya.

Ini adalah daftar berbagai aspek pelatihan yang dimasukkan ke dalam evaluasi peserta (Moekijat, 1990:30), yaitu:

1.      .Apakah tujuan pelatihan, sasaran pembelajaran, dsb, sudah terpenuhi

           Pertanyaan khusus tentang kaitan dari masing-masing sesi; apakah informasi yang disampaikan sudah sesuai dan memadai; apakah penyampaiannya diberikan dengan cara yang menarik

2.      Bagaimana para peserta menerima dan  mengambil manfaat dari setiap tugas pelatihan  yang diberikan.

3.      Apakah ada yang hilang dari pelatihan tersebut

4.      Kualitas dan hubungan dari handout

5.      Kenyamanan tempat pelatihan

6.      Ruang yang diberikan dari tempat pelatihan

7.      Suhu dan sirkulasi udara dalam tempat pelatihan

8.      Saran-saran umum tentang tempat pelatihan (kondusif untuk pelatihan, suasana yang tenang, dsb)

9.      Kualitas konsumsi: tepat waktu, memadai, sesuai dengan harganya

10.  Apabila para peserta memiliki ketentuan-ketentuan pelatihan lanjutan


             Daftar Isian  (kuesioner) untuk evaluasi awal pelatihan dan evaluasi akhir  menggunakan daftar isian yang sama , yang  berbeda  adalah   hasil  akhir.  Hasil dari evaluasi awal dapat dipakai untuk mengukur sejauh mana peserta telah menguasai meteri yang akan dilatih,hasil evaluasi akhir   diharapkan  lebih tinggi dari evaluasi awal.Apabila hasil dari evaluasi akhir lebih baik dari  evaluasi awal hal ini menandakan bahwa telah ada kemajuan  dari sisi  peserta baik dari  pengetahuan dan keterampilan  sesuai dengan apa yang dievaluasi.

    2.Evaluasi Instruktur Pelatihan

            Bagi sang trainer/ instruktur, evaluasi tidak kalah pentingnya, yaitu dapat memberikan feedback tentang apakah peserta puas dengan isi program training, kedalaman meteri training, caranya mengajar, caranya mendelivery ilmunya dan sebagainya. Bukan hal yang mudah bagi seorang trainer untuk dapat memuaskan seluruh pesertanya, bisa dibayangkan, jika dalam sebuah kelas pelatihan, jumlah peserta 10, 20, 30 bahkan mungin 500 peserta, sang trainer dituntut untuk dapat bertindak secara efektif dan efisien agar seluruh materi dapat terserap dan seluruh peserta puas dengan caranya mentransfer seluruh isi materi. Seorang trainer dituntut mampu memainkan peran sebagai seorang trainer, coach, guru, fasilitator, entertainer, pendongeng atau bahkan mungkin sebagai pelawak.Jadi, aspek yang dinilai untuk instruktur atau fasilitator meliputi: Penguasaan atas materi yang diajarkan dan Kemampuan dalam menyajikan materi.

       Untuk seorang instruktur yang dievaluasi lain  adalah antara  lain :
1.                   Penguasaan  Materi.
Penguasaan matei bagi seorang instruktur/fasilitator sangat penting, seorang instruktur ditugaskan melaksanakan tugas mengharuskan untuk menguasai suatu materi. Apa jadinya bila seorang intruktur ketika didepan kelas  tidak mengusai bahan materi yang diajarkan. seorang instruktur  harus memiliki kompetensi yang berkaitan dengan tugasnya antara lain : Pertama, kompetensi pedagogic, maksudnya adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik.Kedua, kompetensi kepribadian, maksudnya adalah  kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta. Ketiga, kompetensi profesional, maksudnya adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Keempat, kompetensi sosial, maksudnya adalah kemampuan instruktur/fasilitator untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efesien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Instruktur/fasilitator profesional tidak akan bisa terus bertahan (survive), bila ia tidak terus menerus memperdalam pengetahuannya, mengasah keterampilannya, dan memperkaya wawasan dan pengalamannya. Untuk itulah para profesional membutuhkan proses belajar (termasuk praktek) yang berkesinambungan (continual), dengan bermacam-macam cara. Mulai dari membaca buku, menganalisa pengalaman orang lain, mengikut seminar atau diskusi (bukan untuk mencari sertifikat tapi cari ilmu), kerja praktek hingga mengikuti program reedukasi (retraining) mungkin juga melanjutkan studi kejenjang yang lebih tinggi.
Kemampuan mengajar instruktur/fasilitator yang sesuai dengan tuntutan standar tugas yang diemban memberikan efek positif bagi hasil yang ingin dicapai seperti perubahan hasil akademik peserta, sikap peserta, keterampilan, dan perubahan pola kerja instruktur/fasilitator yang makin meningkat, sebaliknya jika kemampuan mengajar yang dimiliki instruktur/fasilitator sangat sedikit akan berakibat bukan saja menurunkan prestasi prestasi tetapi juga menurunkan tingkat kinerja instruktur/fasilitator itu sendiri. Untuk itu kemampuan mengajar instruktur/fasilitator tugas dan fungsinya, tanpa kemampuan mengajar yang baik sangat tidak mungkin instruktur/fasilitator mampu melakukan inovasi atau kreasi dari materi yang ada menjadi sangat penting dan menjadi keharusan bagi instruktur/fasilitator untuk dimiliki dalam menjalankan dalam kurikulum yang pada gilirannya memberikan rasa bosan bagi instruktur/fasilitator maupun peserta untuk menjalankan tugas dan fungsi masing-masing.
Menurut Wina Sanjaya (2007) kemampuan dalam penguasaan materi sesuai dengan bidang yang diajarkan adalah salah satu tingkat keprofesionalan seorang instruktur/fasilitator. Kemampuan penguasaan materi memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi.
Menurut Muhammad Ali (1996:44) “kehadiran seorang instruktur/fasilitator haruslah seorang yang memang professional dalam arti memiliki ketrampilam dasar mengajar yang baik, memahami atau menguasai bahan dan memilliki loyalitas terhadap tugasnya sebagai instruktur/fasilitator”. Dengan demikian instruktur/fasilitator dituntut harus memiliki kompetensi. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki seorang instruktur/fasilitator adalah kompetensi professional.
Kompetensi professional yang dimaksud disini adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing para peserta
latih.



2.                   Penguasan  Methodologi.
          Kata “Metodologi” berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara, dan logos yang berarti ilmu. Dengan demikian Metodologi dapat diartikan ; Suatu disiplin ilmu yang berhubungan dengan  metode, peraturan, atau kaedah yang diikuti dalam  ilmu  pengetahuan. Penguasaan metodologi (cara penyampaian materi,kaedah yang sesuai dengan kompetensi)  bagi seorang  instruktur/fasilitator karena pendidikan dan  pelatihan  adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Ada dua buah konsep kependidikan yang berkaitan dengan lainnya, yaitu belajar ( learning ) dan pembelajaran ( intruction ). Konsep belajar berakar pada pihak peserta didik dan konsep pembelajaran berakar pada pihak pendidik.
Dalam proses belajar mengajar (PBM) akan terjadi interaksi antara peserta didik dan pendidik. Peserta didik adalah seseorang atau sekelompok orang sebagai pencari, penerima pelajaran yang dibutuhkannya, sedang pendidik adalah seseorang atau sekelompok orang yang berprofesi sebagai pengolah kegiatan belajar mengajar dan seperangkat peranan lainnya yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang efektif.
Kegiatan belajar mengajar melibatkan beberapa komponen, yaitu peserta didik, guru / instruktur (pendidik), tujuan pembelajaran, isi pelajaran, metode mengajar, media dan evaluasi. Tujuan pembelajaran adalah perubahan prilaku dan tingkah laku yang positif dari peserta didik setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar, seperti : perubahan yang secara psikologis akan tampil dalam tingkah laku (over behaviour) yang dapat diamati melalui alat indera oleh orang lain baik tutur katanya, motorik dan gaya hidupnya. Tujuan pembelajaran yang diinginkan tentu yang optimal, untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pendidik, salah satu diantaranya yang menurut penulis penting adalah metodologi mengajar.
Metodologi mengajar/melatih perlu dimiliki oleh pendidik/ instruktur/fasilitator, karena  keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) bergantung pada cara/mengajar instruktur/fasilitator. Jika cara mengajar instruktur/fasilitator enak menurut peserta, maka peserta akan tekun, rajin, antusias menerima pelajaran yang diberikan, sehingga diharapkan akan terjadi perubahan dan tingkah laku pada peserta baikpengetahuan,keterampilan yang akan meningkat atau berupa tutur katanya, sopan santunnya, motorik dan gaya hidupnya.
Metodologi mengajar/melatih  banyak ragamnya, kita sebagai pendidik/ instruktur/fasilitator tentu harus memiliki metode mengajar yang beraneka ragam, agar dalam  proses belajar mengajar tidak menggunakan hanya satu metode saja, tetapi harus divariasikan, yaitu disesuaikan dengan tipe belajar siswa dan kondisi serta situasi yang ada pada saat itu, sehingga tujuan pengajaran yang telah dirumuskan oleh pendidik dapat terwujud/tercapai. Karena begitu pentingnya metode mengajar dalam pembelajaran . Beberapa metode pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran antara lain : ceramah,diskusi,role play,manajemen game dsb.
Tentunya sebagai seorang instruktur/fasilitator  penguasaan beragam  metodologi  ini sangat perlu dikuasai dan diramu sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran akan mudah dicapai.
3.                   Gaya/Penampilan
            Bagaimanakah gaya mengajar guru yang terbaik dan yang ideal itu?
            Masalahnya disini adalah bukan tentang bagaimana gaya mengajar instruktur/fasilitator  yang paling baik, melainkan mengenai gaya mengajar yang tepat dan sesuai, sesuai dengan apa? Sesuai dengan karakteristik peserta dan sesuai dengan kebutuhan pengajaran di kelas/ditempat praktek. Untuk mengetahui gaya mengajar manakah yang tepat dan sesuai untuk digunakan, sebelumnya instruktur/fasilitator  mengetahui bagaimana karakteristik peserta dan apa tujuan pembelajaran /materi. Agar instruktur/fasilitator  lebih banyak mengetahui tentang gaya mengajar, berikut akan saya uraikan mengenai pengertian serta berbagai macam gaya mengajar guru beserta ciri-cirinya.
1.             Pengertian Gaya Mengajar Guru
Gaya adalah suatu pembawaan seseorang yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor alamiah seperti karakteristik. Gaya menjadi ciri khas yang dibawa seseorang dalam melakukan aktivitas. Mengajar pada hakikatnya bermaksud mengantarkan siswa mencapai tujuan yang telah direncanakan sebelumnya, dalam praktek perilaku mengajar yang dipertunjukkan guru sangat beraneka ragam. Aneka ragam perilaku guru dalam mengajar ini bila ditelusuri akan diperoleh gambaran pola umum interaksi antara guru, isi, atau bahan pelajaran dan siswa. Pola umum ini oleh Dianne Lapp dan kawan-kawan (dalam Ali, 2010: 57) diistilahkan dengan gaya mengajar atau teaching style.
Sedangkan menurut Suparman (2010: 60), “mengajar yang baik adalah mengajar dengan sepenuh hati, ikhlas, inovatif, memunculkan motivasi belajar dan minat belajar serta tentunya meningkatkan prestasi belajar. Dalam mengajar akan berhasil jika memiliki metode atau gaya mengajar yang jelas, terarah, memiliki tujuan dan sistematis”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa mengajar adalah upaya untuk memberikan pengarahan, bimbingan, maupun rangsangan kepada peserta didik agar dapat mencapai tujuan belajar dan meningkatkan hasil belajar.
Suparman (2010: 63) mengemukakan bahwa gaya mengajar adalah cara atau metode yang dipakai guru ketika sedang melakukan pengajaran. Menurut Thoifuri (2013:81), gaya mengajar adalah bentuk penampilan guru saat mengajar, baik yang bersifat kurikuler maupun psikologis. Gaya mengajar yang bersifat kurikuler adalah guru mengajar yang disesuaikan dengan tujuan dan sifat mata pelajaran tertentu. Gaya mengajar yang bersifat psikologis adalah guru mengajar yang disesuaikan dengan motivasi siswa, pengelolaan kelas dan evaluasi hasil belajar.
Menurut Thoifuri (2013: 87) dalam bukunya menjadi guru inisiator , pendekatan dalam mengajar merupakan proses penentuan cepat tidaknya siswa mencapai tujuan belajar. Pendekatan gaya mengajar akan menjadi tepat guna jika selaras dengan tujuanmateri pelajaran,dan minat serta kebutuhan siswa, baik dilakukan dalam bentuk pengajaran kelompok maupun individualMenurut Grasha (2002: 1) Style in teaching is more than a superficial collection of interesting mannerisms used to create an impression.
Ali (2010: 57) menyimpulkan bahwa gaya mengajar yang dimiliki oleh seorang guru mencerminkan pada cara melaksanakan pengajaran, sesuai dengan pandangannya sendiri. Di samping itu landasan psikologis, terutama teori belajar yang dipegang serta kurikulum yang dilaksanakan juga turut mewarnai gaya mengajar guru yang bersangkutan.
Dari penjelasan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya mengajar adalah suatu cara atau bentuk penampilan seorang guru/ instruktur/fasilitator  dalam menanamkan pengetahuan, membimbing, mengubah atau mengembangkan kemampuan, perilaku dan kepribadian siswa/peserta latih dalam mencapai tujuan proses belajar. Dengan demikian, gaya mengajar guru/ instruktur/fasilitator  merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan proses belajar siswa. Oleh karena itu, apabila seorang guru memiliki gaya mengajar yang baik, maka diharapkan hasil belajar siswa juga menjadi lebih baik.

4.                   Bahasa & Kemudahan dipahami.
            Evaluasi i seorang  dari seorang instruktur/fasilitator   juga melingkupi kemudahan memahami bahasa yang disampaikan, dalam arti kata seorang instruktur/fasilitator  harus mampu  melakukan komunikasi yang efektif dengan peserta latih.
Komunikasi efektif yaitu komunikasi yang mampu menghasilkan perubahan sikap (attitude change) pada orang lain yang bisa terlihat dalam proses komunikasi. Tujuan
Tujuan dari Komunikasi Efektif sebenarnya adalah memberi kan kemudahan dalam memahami pesan yang disampaikan antara pemberi informasi dan penerima informasi sehingga bahasa yang digunakan oleh pemberi informasi lebih jelas dan lengkap, serta dapat dimengerti dan dipahami dengan baik oleh penerima informasi yang dalam hal ini adalah peserta latih dan instruktur/fasilitator, atau komunikan. tujuan lain dari Komunikasi Efektif adalah agar pengiriman  informasi dan umpan balik atau feed back dapat seimbang sehingga tidak terjadi monoton. Selain itu komunikasi efektif dapat melatih penggunaan bahasa nonverbal secara baik.
Menurut Mc. Crosky Larson dan Knapp mengatakan bahwa komunikasi yang efektif dapat dicapai dengan mengusahakan ketepatan (accuracy) yang paling tinggi derajatnya antara komunikator dan komunikan dalam setiap komunikasi. Komunikasi yang lebih efektif terjadi apabila komunikator dan komunikan terdapat persamaan dalam pengertian, sikap dan bahasa. Komunikasi dapat dikatakan efektif apa bila komunikasi yang dilakukan dimana :
1. Pesan dapat diterima dan dimengerti serta dipahami sebagaimana yang dimaksud oleh pengirimnya.
2. Pesan yang disampaikan oleh pengirim dapat disetujui oleh penerima dan ditindaklanjuti dengan perbuatan yang diminati oleh pengirim.
3. Tidak ada hambatan yang berarti untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk menindaklanjuti pesan yang dikirim.


Komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku danmemungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya. Menurut Potter dan Perry (1993), komunikasi terjadi pada tiga tingkatan yaitu intrapersonal, interpersonal dan publik. Seorang instruktur/fasilitator haruslah menguasai ketiga tingkatan ini apakah itu intrapersonal, interpersonal dan publik agar apa yang disampaikan mudah diterima dan dapat diterapkan serta terjadi perubahan sikap peserta.

5.                   Menggungah Semangat.
        Seorang  instruktur/fasilitator harus mampu  menggugah  semangat  para peserta terutama semangat belajar. Jangan sampai  ketika instruktur/fasilitator berdiri  didepan kelas, peserta memiliki kegiatan yang lain  seperti mengobrol  atau sibuk dengan hp, tertidur dsb. Apabila ini terjadi berarti instruktur/fasilitator belum/ tidak dapat  menggugah semangat  peserta. Akibatnya adalah tujuan  dan sasaran pembelajaran  tidak  tercapai.
             Dapat tidaknya seorang   instruktur/fasilitator menggugah  semangat  belajar siswa juga akan menjadi tolak ukur keberhasilan yang akan dievaluasi. Pesertalah yang lebih tahu apakah  instruktur/fasilitator  dapat menggugah  semangat  belajar nya atau  tidak. Contoh Instrument Evaluasi Peserta dan instruktur  terlampir.




@@@@@@@@@






BAB V


KONSEP BIMBINGAN PASCA PELATIHAN TRANSMIGRASI
(BPPT)


                 Menyadari bahwa peningkatan kualitas SDM melalui pelatihan adalah upaya yang cukup mahal dan hasilnya tidak segera  dapat dilihat dengan kasat mata, maka setiap upaya penyelenggaraan kegiatan pelatihan diharapkan dapat mencapai suatu peningkatan kemampuan-kemampuan tertentu  yang sedemikian rupa diusahakan untuk selalu berhasil, meskipun dalam kenyataannya dilapangan sering dijumpai adanya kegagalan-kegagalan . Namun satu  hal yang pasti bahwa kegagalan-kegagalan itu tidaklah mutlak atau gagal dalam segala aspek. Kegagalan biasanya hanya pada aspek-aspek tertentu saja, seperti aspek pelatih, materi, sarana dan media, dan lain-lain yang setelah dimonitor  dan dievaluasi umumnya dapat disempurnakan pada tahun berikutnya. Namun demikian salah satu aspek penting dalam pelatihan yang tidak boleh gagal adalah aspek penerapan kemampuan  yang telah melalui suatu pelatihan . Jika hal ini sampai terjadi atau penerapan gagal, maka itu berarti sama dengan kegagalan mutlak  atau pelatihan itu tidak membawa  manfaat ataupun perubahan apapun dalam kinerja transmigran dan ini tidak boleh terjadi.
              Salah satu bentuk   evaluasi didalam  pelatihan transmigrasi adalah bimbingan  pasca pelatihan , atau dalam  istilah    disebut kegiatan Remedial Training.    Kegiatan bimbingan  pasca pelatihan  atau  remedial training  pada dasarnya adalah  suatu kegiatan yang bertujuan  untuk mendorong terwujudnya penerapan hasil pelatihan (kemampuan) ke dalam kegiatan nyata para alumni pelatihan tertentu yang dapat tercermin pada kinerjanya dibidang kemampuan yang dilatihkan. Kegiatan ini tentunya dilakukan pada tahapan  Training  Implementation atau pelaksanaan pelatihan. Penggunaan istilah Bimbingan Pasca Pelatihan  itu sendiri telah  menunjukkan  posisi/kedudukan yang mengacu kepada waktu/saat bimbingan itu dilaksanakan yaitu sesudah pelatihan dilaksanakan .

             Pada hakekatnya pelatihan transmigrasi adalah upaya untuk menumbuhkan motivasi, meningkatkan kepercayaan diri, pengetahuan dan keterampilan agar memiliki kekuatan dan kemampuan dalam mengembangkan usaha-usaha produktif di permukimannya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya secara mandiri. Untuk itu sejak dini  (sebelum diberangkatkan) kepada calon transmigran  telah diberikan pelatihan-pelatihan yang kemudian secara konsisten akan terus berlanjut didaerah penempatannya, dengan demikian  pemberian pelatihan kepada transmigran dilaksanakan di daerah asal, daerah transmigrasi dan di Pusat. Tentu saja prioritas materi yang diberikan berbeda-beda disesuaikan dengan  tingkatan kebutuhan, tujuan dan sasaran masing-masing.
            Didaerah  asal pada dasarnya pelatihan diberikan untuk menumbuh kembangkan motivasi, tekad, semangat juang serta wawasan mereka sebagai seorang yang memilih jalan hidup menjadi transmigran.Dalam konteks ini diberikan  Pelatihan  Dasar Umum (PDU) baik kepada Kepala Keluarga (KK), istri, anak usia produktif, anak usia sekolah, maupun balita. Bagi KK, istri dan anak balita diprogramkan kelas khusus, sedangkan bagi anak usia produktif disisipkan kedalam kelas KK, namun bagi anak usia sekolah diberikan bimbingan belajar sesuai tingkatnya namun belum diprogramkan secara khusus.
            Sebagaimana diketahui pelatihan di daerah transmigrasi  sangat banyak  bentuk dan jenisnya,hal ini disebabkan oleh beragamnya permasalahan yang dihadapi dalam rangka pembinaan masyarakat transmigran.Warga transmgrasi didaerah  penempatan   yang baru menghadapi banyak sekali kesulitan dan tantangan. Tidak saja disebabkan oleh uniknya sumber daya manusia transmigran itu sendiri, ditambah lagi dengan sasaran akhir dari penempatan transmigran sebagai pusat-pusat pertumbuhan baru. Sumber daya alam (SDA) juga cukup terbatas, belum lagi tantangan oleh adanya perubahan ekosistem, dari ekosistem  hutan menjadi permukiman/hunian. Lebih lanjut masa pembinaan yang tersedia juga sangat cukup singkat (± 5 tahun) untuk mewujudkan misi pokok kementerian yang demikian berat dan kompleks.
         Besarnya tantangan yang dihadapi itu bukanlah penghalang bagi program pelatihan, namun justru menjadikan program pelatihan bertambah urgen dan strategis  dalam konteks  penyelenggaraan pembangunan transmigrasi.Dari sisi lain, penerapan manajemen pelatihan  oleh Balatrans di daerah transmigrasi, tidak luput dari kendala dan permasalahan . Belum optimalnya pencapaian efektifitas pelatihan terutama diakibatkan antara lain  pelaksanaan pelatihan belum mengacu  pada kaedah-kaedah Manajemen Pelatihan yang baik, kualitas dan kuantitas pelatih, keterpaduan dan sinkronisasi  program.
          Menyadari semua itu kiranya pelatihan-pelatihan transmigrasi yang banyak bentuk dan jenisnya dan yang telah menggunakan cukup banyak dana pembangunan itu, tentu tidak boleh gagal. Sehingga sebagaimana yang telah diuraikan  terdahulu keberhasilan pelatihan dapat dilihat/tercermin dari kinerja alumninya dalam penerapan kemampuan dibidang yang dilatihkan, maka kekuranga-kekurangan yang tampak pada periode pasca pelatihan perlu diperbaiki/disempurnakan dengan kegiatan yang disebut Remedial Training atau Bimbingan Pasca Pelatihan.
Bimbingan Pasca Pelatihan ini demikian pentingnya sebagai upaya menyelamatkan hasil-hasil pelatihan yang belum optimal baik untuk pelatihan didaerah asal atau daerah penempatan, dengan kesimpulan bahwa kegiatan Bimbingan Pasca Pelatihan ini mutlak perlu diprogramkan.
a.        Pengertian  Bimbingan Pasca Pelatihan Transmigrasi  (BPPT).  

         Pengertian  Bimbingan Pasca Pelatihan Transmigrasi  (BPPT) adalah  “ Suatu kegiatan/upaya  yang  dilakukan oleh Pembina/pelaksana pelatihan transmigrasi  pada waktu  tertentu setelah pelatihan tersebut selesai dilaksanakan, terhadap para alumni serta masyarakat disekelilingnya untuk mengoptimalkan manfaat penerapan hasil pelatihan dimaksud dalam kegiatan produktif sehari-hari “.  Dari rumusan ini terdapat beberapa hal yang merupakan kriteria pokok dari kegiatan bimbingan Pasca Pelatihan, yaitu :
1.      Diprakarsai oleh pembina atau penanggung jawab  pelatihan transmigrasi tertentu.
2.      Diselenggarakan dilokasi permukiman transmigrasi /UPT tertentu
3.      Di UPT tersebut tersedia ± 10 orang alumni pelatihan yang telah mempelajari suatu bidang tertentu.
4.      Bidang kemampuan (no.3) tersebut dipandang  memadai untuk diterapkan dengan dalam kegiatan usaha produktif.
5.      Identifikasi (diagnosa) terhadap kebutuhan BPPT dilakukan dengan mempertimbangkan tenggang waktu antar berakhirnya pelatihan  dengan kegiatan penerapan usaha produktif yang dikembangkan dan  mengacu kepada RKTL, musim tanam dan kemungkinan lainnya.
6.      Hasil identifikasi BPPT  memuat dengan jelas kebutuhan bimbingan yang disertai aspek-aspek  pendukung lainnya, seperti : Kurikulum, metode, sarana dan media, pemandu, narasumber/pakar, yang memadai untuk digunakan sebagai dasar penyusunan program maupun acuan pelaksanaannya.
7.      Pelaksanaan BPPT dapat dilakukan setelah disusun menjadi program  pada tahun anggaran berikutnya atau dilaksanakan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
8.      Salah satu tujuan pokok dari kegiatan BPPT adalah mendayagunakan seluruh potensi yang tersedia dilokasi permukiman/UPT seperti : alumni pelatihan, pembina lapangan, perangkat desa, tokoh masyarakat, petugas lintas sektor, maupun pengusaha kecil dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
9.      Hasil akhir yang ingin dicapai adalah terwujudnya berbagai kegiatan usaha produktif sebagai dampak dari keberhasilan pelatihan  transmigrasi yang pada gilirannya diharapkan dapat mempercepat upaya peningkatan kesejahteraan hidup dan penghidupan transmigran dan masyarakat sekitarnya.

b.    Manfaat (essensi).
Manfaat pokok  semua  kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan transmigrasi selalu diorientasikan semaksimal mungkin  kepada kesejahteraan seluruh masyarakat transmigran serta masyarakat umum disekitarnya. Namun demikian secara esensial suatu kegiatan pembangunan transmigrasi diharapkan sekaligus juga mengandung makna dampak berganda,  artinya kegiatan dimaksud tidak hanya semata-mata memupnyai kemanfaatan dari satu sisi saja, tapi diharapkan bermanfaat  pula bagi  institusi penyelenggara, personil pendukung, maupun kelembagaan sosial ekonomi terkait. Dengan demikian beberapa manfaat pokok dari kegiatan BPPT sebagai berikut :
1.      Meningkatkan kesejahteraan warga transmigran  dan masyarakat sekitar.
2.      Meningkatkan motivasi warga transmigran baik dalam mengembangkan  usaha-usaha produktif, kerjasama kelompok maupun motivasi belajar mereka.

3.      Menanamkan tekad yang kuat untuk tidak mudah menyerah (handal) dalam menghadapi permasalahan-permasalahn yang ditemuinya dilokasi permukiman/ UPT.
4.      Meningkatkan semangat kerja sama dan kebersamaan sesama warga transmigran.
5.      Memperbesar tanggung jawab para pembina, pelaksana dan pelatih/ pemandu pelatihan transmigrasi.
6.      Meningkatkan pemahaman dan profesionalisme para pembina, pelaksana dan Pelatih/Pemandu.
7.      Membuka kesempatan untuk berperan kepada lembaga ekonomi pedesaan/KUD dalam kegiatan warga transmigrasi.
8.      Menyempurnakan program Pelatihan transmigrasi secara bertahap dan dinamis.

c.    Tujuan dan Sasaran.
            Adapun tujuan  dari kegiatan Bimbingan Pasca Pelatihan Transmigrasi (BPPT) adalah antara lain :
1.      Menyelamatkan kegiatan penerapan  /aplikasi kemampuan yang diperoleh warga transmigrasi dalam pelatihan, dari  terjadinya kegagalan/permasalahan sehingga dapat dipastikan terwujudnya keberhasilan/ penerapan kedalam kemungkinankegiatan produktif sehari-hari secara lebih optimal.
2.      Diperolehnya kepastian penerapan/aplikasi, meningkatnya kinerja individual maupun kelompok produktif dilingkungan masyarakat transmigran secara kreatif  dan sistimatis.
3.      Meningkatnya kesejahteraan sosial maupun ekonomi warga transmigran sebagai dampak dari keberhasilan program pelatihan.

d.        Bentuk/type ,Penekanan dan kriteria serta orientasi Analisis BPPT.
         Sebagaimana  diketahui bahwa Bimbingan Pasca Pelatihan Transmigrasi (BPPT) mutlak perlu dilakukan , terlebih lagi bila diingat peranannya yang strategis  baik sebagai wacana  untuk memastikan penerapan hasil pelatihan,maka ada 4 (empat) macam orientasi, bentuk/type yang dapat dilaksanakan  dalam terapy Bimbingan Pasca Pelatihan Transmigrasi (BPPT)  antara lain  :

1.Pembekalan (Retraining).
Pembekalan (retraining) adalah bentuk /type BPPT yang diberikan kepada sekelompok  warga transmigran untuk menunjang keberhasilan penerapan  kemampuan yang diperoleh dari satu jenis pelatihan yang ditekankan kepada penambahan materi baru.
Materi baru dimaksud adalah materi yang tidakdiajarkan atau tidak terdapat  dalam kurikulum/GBPP, namun dari hasil analisis BPPT ternyata sangat dibutuhkan bagi alumni dalam upaya penerapan kemampuannya dalam pengembangan usaha produktif yang dikembangkan dilokasi permukimannya.
Contoh  1 :  Dalam pelatihan budidaya ternak unggas, disebabkan sifat dari pelatihan yang  relatif singkat, pada saat penerapannya ditemui permasalahan  atau kekurangan, tentunya setelah dilakukan identifikasi ternyata diperoleh kesimpulan perlunya penambahan pengetahuan/keterampilan tertentu yang sangat diperlukan sebagai kemampuan tambahan bila ingin kegiatan produktif yang dikembangkan lebih terjamin keberhasilannya, misalnya penambahan materi :
1.              Pembuatan alat penetas sederhana.
2.              Pengolahan/pengembangan pemasaran.
3.              Penggalangan permodalan
4.              Sanitasi dan kesehatan lingkungan.         

Contoh 2 : Dalam Pelatihan  Jahit Menjahit, materi tambahan dapat
                    berupa materi :
1.              Cara mendesain.
2.              Cara padu padan warna.
3.              Pemasaran. Dll.
Dengan demikian dalam rangka terapi BPPT dengan type pembekalan harus dijamin adanya transformasi pengethuan/keterampilan dibidang materi tersebut. Selain itu perlu disertai dengan bantuan lain sebagai aspek pendukung keberhasilan lainnya seperti alat dan bahan,pinjaman lunak berupa dana bergulir dan lain sebagainya.

2.      Penyegaran (Refreshing).
    Penyegaran atau refreshing adalah bentuk BPPT yang diberikan  kepada sekelompok warga transmigran untuk menunjang keberhasilan penerapan  kemampuan yang diperoleh dari satu jenis  pelatihan yang ditekankan pada pendalaman materi yang sudah pernah dipelajari  dalam pelatihan dimaksud.
                     Meskipun  materi yang diberikan telah dipelajari, dan ada kurikulumnya, namun karena  satu dan lain hal setelah diidentifikasi ternyata penyebab kegagalan  atau permasalahan adalah berasal dari  kurangnya tingkat kemahiran alumni pada materi tersebut, padahal materi ini adalah kelompok inti dalam kurikulum . Setelah  dilakukan analisis  identifikasi maka disimpulkan adanya kebutuhan Refreshing atau penyegaran sebagai berikut :
1.      Menyusun Ransum.
2.      Vaksinasi
3.      Perkandangan.

Maka ketiga materi tersebut diputuskan menjadi materi pokok  dalam  Refresihing, yang merupakan upaya pemahiran atau upaya meningkatkan akurasi (ketepatan) pemahaman.
Dan pada kesempatan penyegaran ini sekaligus diberikan pula stimulan
(perangsang) semangat  dan motivasi mereka dalam melakukan usaha produktif  berupa bantuan bahan/alat atau pinajaman lunak bergulir.

3.      Penguatan (Reinforcing).
          Penguatan atau Reinforcing adalah bentuk /type BPPT yang  diberikan  kepada sekelompok warga transmigran untuk menunjang keberhasilan penerapan  kemampuan yang diperoleh dari satu jenis  pelatihan yang ditekankan pada peningkatan kualitas aspek-aspek sikap perilaku individu / kelompok (afektif domain).

Dalam konteks Penguatan (Reinforcing) ini, bimbingan pasca pelatihan dilakukan  dengan asumsi dasar bahwa, pelatihan yang dikonsepsikan salah satunya untuk  untuk menunjang dan mengembangkan  keberhasilan pembinaan masyarakat , diperuntukkan bagi SDM transmigran yang berperan selaku objek yang sekaligus sekaligus subjek/pelaku dari pembangunan transmigrasi.Beranjak dari asumsi dasar ini maka mau tidak mau, suka tidak suka mutlak perlunya SDM yang memiliki kepribadian yang kuat, baik secara individual maupun secara berkelompok. Memikili kepribadian yang kuat artinya mereka mampu :
1.      Mengenali diri sendiri  dengan baik.
2.      Dapat menerima diri dan lingkungannya dengan seadanya dalam arti kata dengan segala kekurangan dan kelemahan dan keunggulan-keunggulannya.
3.      Tidak mudah terpengaruh hanya berdasarkan pertimbangan emosional (tidak rasional).
4.      Tidak berorientasi pada diri sendiri maupun kepuasan jangka pendek.
5.      Mengutamakan kebersamaan atau kepentingan kelompok dan keuntungan jangka panjang.

4.      Pendampingan (Expertising). 
Pendampingan adalah bentuk upaya BPPT yang diberikan  kepada sekelompok warga transmigran untuk menunjang keberhasilan penerapan  kemampuan yang diperoleh dari satu jenis  pelatihan yang ditekankan pada upaya penanggulangan  permasalahn yang berkaitan dengan SDA,SDB, serta aspek-aspek lingkungan lainnya.
Dalam pendampngan ini, bimbingan pasca dilakukan dengan asumsi dasar bahwa, adanya tendensi warga transmigran yang tidak/kurang berhasil dalam menerapkan kemampuan sebagai hasil yang pernah diberikan  cenderung lebih disebabkan  oleh faktoe-faktor SDA, SDB, metodologi dan lingkungan, walaupun tidak berarti bahwa SDM sendiri bermasalah, terutama pada ranah sikap (attitude).
Contoh; alumni pelatihan  budidaya kedelai atau cabe , padahal petani telah mahir, terampil dalam menanam kedelai/cabe , namun ketika diterapkan ternyata banyak spot-spot yang tidak tumbuh, sehingga hal ini memberi dampak kebingungan dan menurunkan rasa percaya diri  serta semangat warga yang lambat laun menyebabkab keputus-asaan untuk berbuat.

e.Spesifikasi Tekhnis BPPT.
Adapun tekhnik BPPT adalah sebagai berikut :
1.      Dilaksanakan di UPT
2.      Jumlah peserta 30 orang
3.      Komposisi peserta ± 35 %  alumni pelatihan dan 65 % warga masyarakat selektif.
4.      Materi  ; hasil analisis dari tim identifikasi BPPT, ditekankan pada aspek-aspek Pembekalan, penyegaran, penguatan dan pendampingan.
5.      Dilakukan dengan cara luwes/ tidak kaku
6.      Pemandu ; PSM  atau sederajad yang memiliki kemampuan untuk itu.
7.      Narasumber ; pakar, praktisi yang relevan.
8.      Waktu ; 7 – 10 hari
9.      Fasilitas – fasilitas lain ; konsumsi, ATK, bahan praktek, transport dan uang saku peserta, pinjaman lunak bergulir, dll.
10.  Metodologi ; Partisipatif dilengkapi dengan praktek lapang, ceramah, diskusi, magang dsb.

f.       Tata Laksana Bimbingan Pasca Pelatihan .
a.       Identifikasi Kebutuhan Bimbingan.
Identifikasi dilakukan bersama alumni dan masyarakat (selektif) dengan menggunakan pendekatan RRA  (Rafid Rural Apraisal), dengan tujuan :
                                                          i.          Mendapatkan data dan informasi.
                                                        ii.          Analisis Informasi.
                                                      iii.          Pengumpulan dan analisis data
                                                      iv.          Komunikasi.

1.      Perencanaan Identifikasi Kebutuhan Bimbingan.
Dalam kegiatan ini dilakukan penentuan jenis  pelatihan yang akan dilakukan identifikasi kebutuhan bimbingan, sekaligus menentukan skala prioritas dan sasaran identifikasi, termasuk rencana lokasi,menyusun tim identifikasi, peranan dan tugas masing-masing anggota tim, lama identifikasi, biaya dll.

2.      Persiapan Pelaksanaan Identifikasi.
Pada kegiatan ini adalah penentuan waktu dan tempat , TOR, laporan pelaksanaan, RKTL, Juklak, modul, pedoman wawancara,daftar ceklis dll.

3.      Pelaksanaan Identifikasi.
a.       Pengumpulan data sekunder ; program dinas, program Balatrans, Kab, UPT dan instansi lainnya.
b.      Pengumpulan Data Primer ; wawancara dengan Ka.dinas, Ka.balatrans, Ka.Dinas TkII, wawancara dengan stake holder di UPT, dll.

4.      Pelaksanaan PRA  Thema.
Pada tahap ini  adalah  membuat tema dari kegiatan bimbingan pasca, tim BPPT sebagai pihak luar,

5.      Penyusunan garis-garis program pembelajaran pada BPPT.
6.      Penyusunan Rancangan kegiatan BPPT :
a.       Latar Belakang Kegiatan.
b.      Tujuan dan Sasaran Kegiatan.
c.       Lingkup Kegiatan.
d.      Peserta BPPT.
e.       Pemandu/pelatih BPPT.
f.       Narasumber.
g.      Tempat/lokasi.
h.      Waktu/lama.
i.        Materi/metodologi.
j.        Sarana/prasarana dan media.
k.      Bantuan lunak .
l.        Mekanisme bantuan lunak.
m.    Evaluasi,monitoring dan suvervisi kegiatan.
n.      Akomodasi,komsumsi peserta.
o.      Gaji/upah
p.      Biaya perjalanan.
q.      Bahan-bahan lain (ATK) dll.

            Setelah Identifikasi  benar-benar siap barulah kegiatan BPPT berdasarkan hasil Identifikasi  itu diprogramkan untuk dilaksanakan pada Tahun Anggaran berikutnya.

7.        Pelaporan.
Pada hakekatnya pelaporan adalah upaya penyampaian informasi yang berkaitan dengan suatu kegiatan tertentu.Dalam kegiatan BPPT ada 2 (dua) hal yang dilaporkan yaitu kegiatan Identifikasi dan pelaksanaan BPPT itu sendiri.
a.       Laporan Identifikasi.
b.      Laporan Pelaksanaan BPPT.



@@@@@@@@@@












BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN


a.         Kesimpulan.

1.      Pelatihan merupakan salah satu kunci untuk membawa seseorang atau suatu organisasi menjadi lebih baik dan efektif dalam mencapai tujuannya. Evaluasi yang dilakukan pada setiap program adalah evaluasi terhadap aspek-aspek yang menunjukkan respon selama pelatihan berlangsung.

2.      Evaluasi peserta merupakan suatucara untuk mengetahui peningkatan pengetahuan dan keterampilan melaluiPretest dan Post Test. Bagi peserta training, evaluasi training dapat memberikan feedback berupa seberapa signifikannya training tersebut mempunyai impact bagi pekerjaannya, perubahan bagi dirinya, kecocokan program dan manfaat-manfaat lainnya.

3.      Evaluasi istruktur pelatihan adalah untuk memberikan feedback tentang apakah peserta puas dengan isi program training, kedalaman meteri training, caranya mengajar, caranya mendelivery ilmunya dan sebagainya.


4.      Untuk pelatihan-pelatihan tertentu berdasarkan dari hasil Evaluasi,evaluasi pasca, dapat diprogramkan  Bimbingan Pasca Pelatihan (BPPT) yang pelaksanaannya hampir sama dngan pelatihan,namun bertujuan untuk lebih menyempurnakan penerapan hasil pelatihan oleh alumni.


b.        S a r a n.
1.      Agar pelatihan berjalan lebih efektif dan efisien , seleksi peserta pelatihan harus benar-benar selektif, agar hasil evaluasi tidak mengecewakan.
2.      Agar Pelatihan berhasil guna, selain peserta yang selektif, sarana dan prasarana pelatihan harus lengkap; ATK, alat praktek dll.
3.      Setiap  evaluasi  harus dapat disimpulkan agar  dapat dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap kekurangan yang ada.
4.      Perlu di programkan  Bimbingan Pasca Pelatihan  untuk mengoptimalkan hasil pelatihan, tidak hanya berupa bantuan barang/dana.
5.      Dalam pelaksanaan BPPT, tidak hanya pemberian bantuan materi berupa pinjaman lunak, tetapi ada kelanjutan materi sehingga diharapkan pelatihan benar-benar dapat diterapkan dengan optimal.


@@@@@@@@@

















BAB VII

P E N U T U P


                 Demikian Makalah Mengenai  “ Konsep  Pelatihan, Evaluasi Dan Bimbingan Pasca Pelatihan  Transmigrasi , dengan harapan semoga Pelatihan yang diprogramkan  akan bermanfaat bagi masyarakat sesuai dengan tujuannya , bahwa Pelatihan mempunyai peranan penting dalam pembangunan sumber daya manusia , agar tidak ada  kesenjangan  (gap) antara tingkat kualitas SDM yang dibutuhkan dengan  sumber daya manusia saat ini. Evaluasi Pelatihan sangat penting dilakukan untuk mengetahui sejauh mana hasil pelatihan sudah dapat diterapkan oleh alumni dan tingkat efektifitas pelatihan, baik dari segi penyelenggaraan maupun pada system atau metode pembelajaran yang dilaksanakan, pemahaman materi oleh para Instruktur dan Pemandu dalam penyajian materi, serta faktor – faktor yang mempengaruhi dalam penerapan hasil pelatihan, diperlukan kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanan kegiatan pelatihan secara berkesinambungan, selain dari itu seberapa banyak manfaat pelatihan dalam perkembangan, maka perlu dilakukan evaluasi baik evaluasi selama pelaksanaan pelatihan dan sesudah pelatihan.
            Untuk mengoptimalkan manfaat penerapan hasil pelatihan dalam kegiatan produktif sehari-hari  sangat perlu dilakukan bimbingan pasca pelatihan dengan berbagai langkah,agar manfaat pelatihan benar-benar dirasakan masyarakat.


                                                                                         Padang,     September  2016.
                                    Mengetahui  :
                Ka. Balai Pelatihan  Transmigrasi                          Penggerak Swadaya Masyarakat,
                       Prov. Sumatera Barat,              



                            Drs.YASRIZAL                                                Dra. MAIYARTI
                     NIP. 19590909 198003 1 008                              NIP.19620522 199003 2 001




Referensi


1.      Bahan-bahan  Pembelajaran Training Of Trainers (TOT).
2.      Petunjuk Pelaksanaan TNA, Puslatrans 1994
3.      Petunjuk Pelaksanaan Bimbingan Pasca Pelatihan.
Pusat Bina Pelatihan Transmigrasi 1998
4.      http://id.wikipedia.org/wiki/Evaluasi  (13 April 2012)
5.      edratna.wordpress.com
6.      cenya95.wordpress.com
7.      Pengembangan Sumber Daya Manusia ; DR.Soekidjo Notoatmodjo.
8.      Evaluasi Pekerjaan ; Dov Elizur.