BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang.
Pelatihan
mempunyai peranan penting dalam pembangunan sumber daya manusia , sehingga tidak
terjadi kesenjangan kualitas sumber daya manusia antara yang dibutuhkan dengan
kondisi sumber daya yang ada sekarang. Salah satu upaya untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia agar memiliki sikap, pengetahuan dan keterampilan
yang dapat berperan sebagai ekselerator dalam proses pembangunan adalah melalui
kegiatan pelatihan yang sesuai dengan
kebutuhan dan diselaraskan dengan tahapan pembinaan serta bantuan dan paket –
paket lainnya seperti bantuan baik berupa materi ataupun barang yang biasa disebut bantuan pasca
pelatihan.
Untuk mengetahui sejauh mana hasil
pelatihan sudah dapat diterapkan oleh alumni dan tingkat efektifitas pelatihan,
baik dari segi penyelenggaraan maupun pada system atau metode pembelajaran yang
dilaksanakan, pemahaman materi oleh para Instruktur dan Pemandu dalam penyajian
materi, serta faktor – faktor yang mempengaruhi dalam penerapan hasil
pelatihan, diperlukan kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanan
kegiatan pelatihan secara berkesinambungan, selain dari itu seberapa banyak
manfaat pelatihan dalam perkembangan, maka perlu dilakukan evaluasi baik
evaluasi selama pelaksanaan pelatihan dan sesudah pelatihan.
b.
Pokok
Masalah.
Evaluasi Pasca Pelatihan pada dasarnya
merupakan upaya untuk mengetahui sejauh mana hasil yang telah dicapai oleh para
alumni pelatihan dan sebagai tolok ukur bagi penyelenggara apakah pelatihan
yang dilaksanakan bermanfaat dan dapat di praktekkan dan diterapkan langsung oleh alumni dilapangan
untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, masyarakat dan lingkungannya melalui
penyebaran hasil pelatihan yang diperoleh.
Evaluasi
menjadi sangat penting untuk dilaksanakan karena evaluasi akan dapat mengukur
tingkat ketercapaian dari program pelatihan yang dilakukan sehingga akan
memberikan feed back untuk kelangsungan
program pelatihan selanjutnya. Peserta merupakan objek dari pelatihan dan akan
merasakan hasil dari pelatihan sehinga evaluasi peserta menjadi sangat
menentukan keberlangsungan pelatihan selajutnya. Selain peserta yang menjadi
ujung tombak keberhasilan atau ketercapaian program pelatihan adalah instruktur
yang memberikan materi pelatihan.
Berdasarkan hal diatas,
maka beberapa pokok masalah yang perlu dijelaskan adalah sebagai berikut :
1.
Konsep Pelatihan
secara umum
2.
Konsep Pelatihan
Transmigrasi.
3.
Konsep Evaluasi
Pelatihan di Lembaga Penyelenggara Pelatihan.
4.
Konsep Bimbingan
Pasca Pelatihan pada Sistem
PelatihanTransmigrasi.
c. Pokok Bahasan.
Berdasarkan masalah diatas,maka Pokok Bahasan dalam
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Konsep Pelatihan secara umum.
2. Bagaimana Konsep Pelatihan Transmigrasi.
3.
Bagaimana Konsep Evaluasi Program
Pelatihan
4. Bagaimana Konsep Bimbingan Pasca Pelatihan pada
Sistem
PelatihanTransmigrasi.
d. Tujuan P enulisan.
Adapun tujuan dari penulisan
makalah ini adalah untuk :
1.
Memenuhi nilai
kinerja dalam pengumpulan angka
kredit Penggerak Swadaya Masyarakat pada
bulan September Tahun 2016 pada UPTD.
Balai Pelatihan Transmigrasi Provinsi Sumatera Barat.
2. Menjelaskan tentang
cara Evaluasi Pelatihan pada lembaga Pelatihan dan bimbingan pasca
pelatihan pada Sistem PelatihanTransmigrasi.
e.
Metode Penulisan.
Metode
penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah metode perpustakaan, yakni
dengan cara menggunakan referensi mengenai Evaluasi Penyelenggaraan Pelatihan
dan Evaluasi Pasca Pelatihan di UPTD.Balai
Pelatihan Transmigrasi Prov. Sumatera Barat, dan dari internet yang kemudian dirangkum
menjadi bentuk makalah ini.
f. Manfaat
Penulisan .
Manfaat dari karya
tulis ini adalah sebagai berikut :
1.
Menjelaskan
Bagaimana
Konsep Pelatihan secara umum.
2. Menjelaskan Bagaimana Konsep Pelatihan Transmigrasi.
3.
Menjelaskan
bagaimana Konsep Evaluasi
Program Pelatihan
4. Menjelaskan bagaimana Konsep Bimbingan Pasca
Pelatihan pada Sistem
PelatihanTransmigrasi.
@@@@@@@@@@
BAB
II
KONSEP PELATIHAN
SECARA UMUM
Manusia
merupakan makhluk yang dapat berkembang sesuai dengan kapasitas yang
dimilikinya. Kemampuan yang dimiliki oleh manusia haruslah senantiasa
dikembangkan karena jika tidak maka kemungkinan akan terjadi adalah kemunduran
bahkan statis. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan
kemampuan tersebut adalah dengan pendidikan dan pelatihan.
a. Pengertian
Sikula dalam Sumantri (2000:2) mengartikan pelatihan sebagai:
“proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan cara dan prosedur yang
sistematis dan terorganisir. Para peserta pelatihan akan mempelajari
pengetahuan dan keterampilan yang sifatnya praktis untuk tujuan
tertentu”. Menurut Good, 1973 pelatihan
adalah suatu proses membantu orang lain dalam memperoleh skill dan pengetahuan (M. Saleh
Marzuki, 1992 : 5). Sedangkan Michael J. Jucius dalam Moekijat (1990 : 2) menjelaskan istilah latihan
untuk menunjukkan setiap proses untuk mengembangkan bakat, keterampilan dan
kemampuan pegawai guna menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu.
Definisi pelatihan menurut Center for Development Management and Productivity adalah
belajar untuk mengubah tingkah laku orang dalam melaksanakan pekerjaan mereka.
Pelatihan pada dasarnya adalah suatu proses memberikan bantuan bagi para
karyawan atau pekerja untuk menguasai keterampilan khusus atau membantu untuk
memperbaiki kekurangan dalam melaksanakan pekerjaan mereka.
b. Tujuan
Pelatihan.
Secara umum tujuan
pelatihan tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap
saja, akan tetapi juga untuk mengembangkan bakat seseorang, sehingga dapat
melakukan pekerjaan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Moekijat (1990 : 2) menjelaskan tujuan umum
pelatihan sebagai berikut :
1.
Untuk mengembangkan keahlian, sehingga
pekerjaan dapat diselesaikan dengan
lebih cepat dan lebih efektif;
2.
Untuk mengembangkan pengetahuan, sehingga
pekerjaan dapat diselesaikan
secara rasional;
3.
Untuk mengembangkan sikap, sehingga
menimbulkan kemauan kerjasama dengan
teman-teman pegawai dan dengan manajemen (pimpinan).
Tujuan pelatihan menurut Fandy Tjiptono dan Anastasia
Diana (1995 : 223) adalah untuk meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap karyawan serta meningkatkan kualitas dan produktivitas
organisasi secara keseluruhan, dengan kata lain tujuan pelatihan adalah
meningkatkan kinerja dan pada gilirannya akan meningkatkan daya saing.
c. Manfaat
Pelatihan
Manfaat pelatihan beberapa ahli
mengemukakan pendapatnya Robinson dalam M. Saleh Marzuki (1992 :
28) mengemukakan manfaat pelatihan sebagai berikut :
1.
Pelatihan sebagai alat untuk memperbaiki penampilan/kemampuan
individu atau kelompok dengan
harapan memperbaiki performance organisasi;
2.
Keterampilan tertentu diajarkan agar
karyawan dapat melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan standar yang diinginkan;
3.
Pelatihan juga dapat memperbaiki
sikap-sikap terhadap pekerjaan, terhadap
pimpinan
atau karyawan;
4.
Memperbaiki standar keselamatan.
Pelatihan menurut Fandy Tjiptono dan Anastasia
Diana juga memberikan manfaat dalam mengurangi kesalahan
produksi; meningkatkan produktivitas; meningkatkan kualitas; meningkatkan
fleksibilitas karyawan; respon yang lebih baik terhadap perubahan; meningkatkan
komunikasi; kerjasama tim yang lebih baik, dan hubungan karyawan yang lebih
harmonis (1998 : 215).
@@@@@@@@@
BAB III
KONSEP PELATIHAN TRANSMIGRASI
Pada hakekatnya kegiatan pembinaan masyarakat
transmigrasi dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kelompok bidang,
yaitu pembinaan bidang Ekonomi,
pembinaan bidang Sosial Budaya, dan pembinaan kualitas SDM Transmigran yang dalam hal ini dilakukan melalui Pelatihan
Transmigrasi.
Pelatihan Transmigrasi adalah kegiatan yang diprogramkan bagi calon transmigran
dan transmigran . Hal ini secara
explisit tercantum dalam UU No. 29 Tahun 2009 pasal 29 tentang Pendidikan dan
Pelatihan bagi calon Transmigran dan Transmigran.,yang dimaksud dengan Pelatihan Transmigrasi adalah
Proses kegiatan
yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan peribahan sikap
individu,
kelompok dan masyarakat dalam upaya untuk meningkatkan kemampuannya yang hasilnya dapat tercermin dalam kinerjanya
dibidang yang dilatihkan.
a.Tujuan Pelatihan Transmigrasi .
Adapun
Tujuan Pelatihan Transmigrasi adalah bahwa Pelatihan sebenarnya tidak terlepas dari konsep
pengembangan sumber daya manusia sebab pendidikan dan pelatihan tersebut
merupakan salah satu bagian dari pengembangan sumber daya manusia, dengan
tujuan sbb :
1. Transmigran meningkat kemampuan &
produktivitasnya
2.
Kemandirian
Transmigran terbangun. .
3.
Terwujud integrasi di
Permukiman Transmigrasi
Pelatihan
Transmigrasi yang berdasarkan pada adanya Pengembangan wilayah permukiman transmigrasi,
tidak terlepas dari tujuan peningkatan kualitas permukiman yaitu ditandai
dengan adanya peningkatan kualitas kehidupan dan penghidupan masyarakat
transmigran yang ditandai adanya peningkatan pendapatan. Sumber daya manusia
sebagai tenaga kerja yang mampu mendukung pertumbuhan wilayah tersebut harus
memiliki sikap, pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Pemberian bekal
sikap, pengetahuan, dan keterampilan bagi para masyarakat sasaran dapat
ditempuh dengan memberikan pelatihan, pembangunan, dan inovasi sosial sesuai
dengan kebutuhan pembangunan lokasi penempatan. Pelatihan diberikan ketika
terjadi suatu kesenjangan antara tingkat kualitas sumber daya manusia yang
dibutuhkan dalam pembangunan lokasi transmigrasi dengan tingkat kualitas sumber
daya manusia yang ada saat ini. Pelatihan merupakan salah satu unsur
penting untuk pembinaan dan pengembangan sumber daya
manusia (warga transmigran
) dalam rangka meningkatkan produktivitas &
kesejahteraan warga transmigran.
Pelatihan
transmigrasi telah berlangsung sejak lama sebagai upaya dukungan bagi keberhasilan
masyarakat transmigrasi mengembangkan
kehidupannya di daerah baru. Untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan
transmigrasi, dirasakan adanya kebutuhan pelatihan transmigrsi, baik oleh
trasmigrasi maupun penyelenggaraan trasmigrasi. Suatu pelatihan perlu diberikan
kepada transmigran apabila latar belakang pendidikan,pengalaman, dan
keterampilan yang diperlukan untuk membuka daerah baru yang berbeda dengan
kondisi daerah asalnya. Untuk mengetahui kebutuhan transmigrasi akan pelatihan diperlukan
adanya Training Needs assesment atau penelusuran kebutuhan pelatihan.
Kebutuhan pelatihan transmigrasi
akan timbul manakala terdapat berbedaan antara kebutuhan keterampilan dan
keterampilan yang dimiliki transmigrasi. Namun kebutuhan pelatihan transmigrasi
sangat dipengaruhi pula oleh kondisi pisik lingkungan kawasan transmigrasi dan
peluang pasar bagi produk yang dihasilkan transmigrasi (Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2005:20).
Para
transmigran dari daerah asal sebagian tidak mempunyai pengalaman di bidang pertanian.
Sedang mereka yang berpengalaman sebagai petani atau buruh tani terbiasa mengolah
lahan yang sudah matang. Sedangkan kondisi lahan di daerah transmigrasi adalah
daerah bukan baru yang semula berupa hutan sekunder, lahan alang-alang, atau daerah
pasang surut. Kondisi lahan yang demikian memerlukan cara usaha tani baru yang masih
harus dipelajari. Sedangkan bagi transmigran penduduk setempat, mereka sudah lebih
mengenal kondisi lahan di daerah transmigrasi. Namun pada umumnya mereka belum terbiasa
mengolah lahan secara intensif. Disisi lain mereka lebih banyak berlatar
belakang bukan petani, tetapi peramu hasil hutan. Dengan mempertimbangkan
segala kelemahannya, kepada transmigran masih diperlukan adanya pelatihan dalam
upaya memberdayakan transmigran agar mampu mandiri. Namun kiranya dengan latar
belakang yang berbeda tersebut diperlukan substansi pelatihan yang berbeda
pula. Walaupun pada dasarnya di dasari bahwa pelatihan transmigrasi sangat
diperlukan, namun perlu dideteksi secara jeli jenis pelatihan transmigrasi yang
diperlukan, agar demikian penyelenggaraan pelatihan transmigrasi dapat
dilakukan secara efisien. Terlebih dahulu perlu dipisahkan antara kebutuhan
pelatihan bagi calon transmigran dan transmigrannya sendiri. Sementara itu calon
transmigran sendiri ada yang berasal dari Pulau Jawa dan Bali, namun juga
mereka yang berasal dari penduduk setempat. Pelatihan bagi calon transmigran
terutrama diarahkan pada peningkatan
motivasi bertransmigrasi, penjelasan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab
transmigran, memberian informasi tentang kondisi kawasan transmigrasi, dan
pengenalan budaya masyarakat di
dalam
maupun di luar kawasan transmigrasi. Untuk itu materi informasi yang diperlukan
untuk pelatihan perlu diperkaya.
Demikian
pula para pelatih atau intruktur pelatihan daerah asal harus benar-benar sudah mengenal
kondisi kawasan transmigrasi (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2005:21).
b.
Sistem
Pelatihan Transmigrasi.
Pada dasarnya,filosofi
pentingnya peranan pelatihan dalam pengembangan sumberdaya manusia (SDM) transmigran
dapat dilihat dari adanya kesenjangan
(gap) antara tingkat kualitas SDM yang dibutuhkan dalam rangka
pengembangan permukiman transmigrasi dengan kondisi SDM saat ini. Salah satu
upaya yang dilakukan untuk mengurangi kesenjangan tersebut dilakukan melalui
pelatihan. Pelatihan untuk daerah
transmigrasi harus mempertimbangkan potensi-potensi agribisnis yang sudah
berkembang atau yang potensial untuk dikembangkan didaerah transmigrasi.
Sebagai suatu sistem, maka agribisnis didaerah transmigrasi juga harus dilihat
sebagai suatu proses usaha yang tidak
terlepas satu sama lain, dimana antar sub-sistem di dalam agribisnis mempunyai keterkaitan yang erat.
Dalam konteks ini , warga transmigran sebagai pelaku agribisnis didaerah
transmigrasi dan wilayah-wilayah sekitarnya harus mampu menguasai sistem
agribisnis yang secara utuh, sehingga sistem pelatihan yang dirancang harus mempertimbangkan aspek-aspek tersebut.
Pelatihan yang dirancang dalam
sistem pelatihan transmigrasi harus
mempertimbangkan masa pembinaan
transmigrasi 5 (lima) tahun (T+1 – T+5),
yang kemudian diserahkan ke PEMDA, hal ini
harus dipertimbangkan dalam
penyusunan sistem pelatihan, dan selama
5 tahun itu terdapat suatu tahapan pembinaan ekonomi transmigran yang sekaligus
menunjukkan sasaran peningkatan pendapatan
yang diharapkan dapat dicapai melalui tahapan dan jenis pelatihan yang akan
dilaksanakan. Pelatihan yang ideal untuk pelatihan transmigrasi adalah
pelatihan yang menyesuaikan antara sub-kultur transmigran pada saat didaerah
asalnya, pola usaha tani yang telah dikembangkan, potensi wilayah, kebijakan
atau input-input pembangunan dari
pemerintah , potensi agribisnis yang telah berkembang dan potensial dapat
dikembangkan kemudian, serta pola dan sistem pembinaan daerah transmigrasi,
baik pembinaan ekonomi maupun sosial budaya di daerah transmigrasi.
Secara ringkas, uraian sistem
pelatihan transmigrasi yang akan
dikembangkan didaerah transmigrasi dengan mempertimbangkan berbagai aspek
diatas, dapat digambarkan sebagai berikut :
Tahun Pembinaan
Tahapan dan
Proses Pelatihan
Tahap
Penyesuaian Tahap Pengembangan Tahap
Pemantapan
Proses Pelatihan
Daerah Transmigrasi
Berbasis
Agribisnis
|
Pembangunan
Kondisi Awal Agribisnis
Sistem Pelatihan yang akan dikembangkan di daerah
Transmigrasi
c. Posisi Pelatihan dalam Pengembangan Masyarakat
Transmigrasi.
Dalam sistem
Pelatihan Transmigrasi telah dikembangkan suatu perencanaan
yang terpadu yakni dengan dilaksanakan Training Needs Assessment
(TNA) yakni Penelusuran Kebutuhan
Pelatihan yang mengakomudir kebutuhan
warga transmigran. Kegiatan TNA ini merupakan tahap awal dari daur proses pelatihan (training cycles
by process) dimana akan berurutan dan
tiap proses saling berpengaruh satu sama
lain.
TNA
dilaksanakan guna meningkatkan kualitas dan efektifitas penyelenggaraan pelatihan bagi transmigrasi dan agar paket-paket
pelatihan yang diprogramkan betul-betul sesuai
dengan kebutuhan warga transmigran sehingga berdampak efektif terhadap pembinaan masyarakat transmigran secara keseluruhan serta bermanfaat
bagi warga transmigran.
Secara umum penilaian kebutuhan pelatihan adalah suatu proses
kegiatan yang bertujuan untuk menemukenali ( mengidentifikasi) adanya
kesenjangan (gap) dalam bentuk
pengetahuan, keterampilan maupun sikap pada suatu kelompok kerja atau
komunitas masyarakat
tertentu yang dapat dihilangkan atau
dikurangi melalui kegiatan pelatihan dengan TNA diharapkan dapat
menemukan daur yang kuat dan ilmiah dalam penyusunan rancangan pelatihan yang
tepat, akurat dan sistematis serta komprehensif
dalam rangka penyusunan program pelatihan yang efektif. Manfaat yang
dapat dipetik dari proses perencanaan
program yang didahului oleh TNA antara lain : meningkatkan efektifitas
pelatihan, memudahkan pengukuran terhadap keberhasilan pelatihan, serta
memudahkan perbaikan program pelatihan.
Konsep Model Pelatihan sebagai suatu proses yang Integral
1
Proses Penilaian Kebutuhan
Pelatihan
|
5
Proses
Evaluasi Pelatihan
|
4
Proses
Pelaksanaan Pelatihan
|
3
Proses Perencanaan
Program Pelatihan
|
2
Proses Penentuan
Tujuan Pelatihan
|
d. Pelatihan Berbasis Agribisnis .
Sistem agribisnis pada dasarnya adalah suatu cara
baru melihat pertanian dalam wawasan yang lebih luas. Cara baru melihat
pertanian ini perlu diperkenalkan dan
dimasyarakatkan agar kita semua, dari
petani hingga para pembuat kebijakan serta masyarakat luas, jangan salah
melihat pertanian itu sebagai suatu sektor yang kurang nilainya dibandingkan
dengan sektor lain seperti industri
manufaktur, pertambangan, jasa-jasa, pariwisata dan lain-lain. Kenyataannya,
krisis yang kita hadapi dewasa ini juga
berawal dari kekeliruan melihat dan
menempatkan pertanian dan pedesaan dalam konteks pembangunan nasional ; secara khusus , yang menyangkut kebijakan
industrialisasi dan pengembangan
tekhnologi, kebijakan dalam nilai tukar, keberpihakan yang tidak pas, dan
lain-lain.
Jika dulu
kita melihat pertanian terbatas pada kegiatan ditingkat usaha tani untuk
menghasilkan produk primer, maka dalam wawasan agribisnis kita harus bisa melihat keterkaitan antara
sistem yang mendukung di hulu, yang
menarik dihilir serta sistem pendukung yang berupa berbagai layanan kebijakan .
Dengan kata lain :
Sistem agribisnis menyangkut seluruh kegiatan yang dilibatkan sejak dari
pembuatan dan distribusi berbagai input
dan alat-alat pertanian, kegiatan produksi ditingkat usahatani ; serta penyimpanan, pengolahan dan
distribusi barang-barang pertanian dan yang terbuat dari barang-barang pertanian
tersebut (Drillon,Jr.1971)
|
@@@@@@@@@ @
Contohnya
adalah seperti Agribisnis komoditas kopi, kebutuhan hulu dan hilirnya, bahwa
kebutuhan di hulu adalah tersedianya bibit yang bermutun serta input lain seperti pupuk,pestisida dll. Wujud pengolahan di hilir berbeda dengan padi karena mesin pembuatan bubuk kopi secara utuh tidak sama
dengan mesin penggilingan padi.
Dinegara-negara maju kegiatan dihilir ini telah beberapa lebih maju diantaranya
pembuatan kopi instan seperti Nescafe, Indocafe, dan lain-lain.
Untuk ternak sapi potong, kegiatan terpenting
dihulu adalah penyediaan pakan konsentrat dan hijauan, bahkan juga semen (sperma) untuk peningkatan keunggulan sapi tersebut.
Tanpa dukungan tersedianya pakan hijauan dan
konsntrat
yang memadai mustahil akan bisa mengembangkan ternak yang secara finansial
menguntungkan peternak/transmigran. Untuk dihilir, diperlukan kegiatan pemrosesan baik ; adanya RPH (Rumah
Pemotongan Hewan) untuk menjual daging segar, daging kaleng, maupun dalam
bentuk lain seperti bakso. Sistem distribusi juga sangat menentukan seperti
misalnya untuk menjual daging segar/beku keluar daerah/luar negeri. Ini harus didukung
oleh kegiatan pemotongan dan sortasi yang tepat agar menguntungkan.
Untuk sapi
perah lain lagi komponen-komponen kegiatan dan kebutuhannya dari hulu sampai
kehilir. Demikian pula untuk ayam petelur, ayam pedaging, ikan, kelapa dan
komoditas pertanian lainnya.
Apa yang
selama ini kurang diperhatikan dalam
program transmigrasi adalah wawasan pengembangan agribisnis seperti diatas.
Tetapi untuk mengidentifikasi dan
mengembangkan kegiatan diatas, bukan semata-mata tugas transmigrasi, yang
terpenting adalah bagaimana meningkatkan pendapatan transmigran dari
pengembangan agribisnis tersebut. Salah satunya adalah agar transmigran bisa
menguasai paling tidak sebagian dari kegiatan hulu atau di hilir ; bahkan
mencakup keduanya. Misalnya untuk ternak sapi potong, ayam petelur dan
pedaging, sangat strategis dan besar artinya bila peternak /warga transmigran
menguasai pembuatan dan penyediaan pakan. Apabila ada kemmapuan , beberapa
kegiatan dihilir juga bisa dicoba dikuasai oleh transmigran seperti pemotongan
dan pemasaran ayam pedaging.
e. Pentingnya
kegiatan TNA.
Pengembangan
suatu lokasi atau daerah transmigrasi sangat ditentukan oleh berbagai faktor
yang saling terkait,antara lain potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia
(warga dan masyarakat sekitar) potensi pasar (lokal atau regional),
kebijakan-kebijakan pemerintah (input-input pembangunan) sumber daya buatan
(permodalan,sarana dan prasarana). Faktor-faktor ini sangat relevan digunakan
dalam kegiatan Penelusuran Kebutuhan Pelatihan bagi warga transmigran.Dalam hal
ini, pendekatan penelusuran dari bawah ( bottom-up) digabungkan dengan
pendekatan yang berasal dari atas (top-down).
Dengan menggabungkan
kedua pendekatan ini, diharapkan kegiatan penelusuran yang akan dilakukan dapat lebih mencapai tujuan
dan sasaran. Selanjutnya , melalui
kegiatan penelusuran pelatihan bagi warga transmigrasi diharapakn berbagai
bentuk-bentuk pelatihan yang lebih
bersifat spesifik lokal dan benar-benar dibutuhkan dapat diidentifikasi dan
dikembangkan ke dalam bentuk kurikulum-kurikulum pelatihan.
@@@@@@@@@@
BAB IV
KONSEP EVALUASI PELATIHAN
a.
Pengertian.
Secara harfiah kata evaluasi
berasal dari bahasa Inggris evaluation; dalam
bahasa Arab; al-taqdir; dalam bahasa Indonesia berarti; penilaian. Akar katanya adalah value; dalam bahasa Arab; al-qimah; dalam bahasa Indonesia berarti; nilai.
Dalam Wikipedia Evaluasi (bahasa Inggris:Evaluation) adalah proses penilaian, sedang dalam
perusahaan evaluasi dapat diartikan sebagai proses pengukuran akan
efektifitas strategi yang digunakan dalam upaya mencapai tujuan perusahaan. Data yang
diperoleh dari hasil pengukuran tersebut akan digunakan sebagai analisis
situasi program berikutnya.
Secara garis besar, proses evaluasi
terbagi menjadi di awal (pretest) dan diakhir
(posttest). Pretest merupakan sebuah evaluasi yang
diadakan untuk menguji konsep dan eksekusi yang direncanakan. Sedangkan, posttest merupakan evaluasi yang diadakan untuk melihat
tercapainya tujuan dan dijadikan sebagai masukan untuk analisis situasi
berikutnya.
Untuk mencapai evaluasi tersebut dengan baik, diperlukan sejumlah tahapan
yang harus dilalui yakni menentukan permasalahan secara jelas, mengembangkan
pendekatan permasalahan, memformulasikan desain penelitian, melakukan
penelitian lapangan untuk mengumpulkan data, menganalisis data yang diperoleh,
dan kemampuan menyampaikan hasil evaluasi.
b. Tujuan
Evaluasi
Menurut Suharsimi Arikunto (2004 : 13) ada dua tujuan
evaluasi yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus. Tujuan umum diarahkan kepada
program secara keseluruhan sedangkan tujuan khusus lebih difokuskan pada
masing-masing komponen. Implementasi program harus senantiasa di evaluasi untuk
melihat sejauh mana program tersebut telah berhasil mencapai maksud pelaksanaan
program yang telah ditetapkan sebelumnya. Tanpa adanya evaluasi,
program-program yang berjalan tidak akan dapat dilihat efektifitasnya.
Dengan demikian, kebijakan-kebijakan baru sehubungan dengan program itu
tidak akan didukung oleh data. Karenanya, evaluasi program bertujuan untuk
menyediakan data dan informasi serta rekomendasi bagi pengambil kebijakan
(decision maker) untuk memutuskan apakah akan melanjutkan, memperbaiki atau
menghentikan sebuah program.
Ditinjau dari bentuk-bentuk
evaluasi, maka evaluasi bertujuan untuk, evaluasi formatif untuk bertujuan
untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan yang sedang berjalan, sedang evaluasi
sumatif bertujuan untuk pertanggungjawaban, keterangan, seleksi dan lanjutan.
Menurut Stufflebeam yang membagi evaluasi kepada proactive evaluation, yakni melayani pemegang
keputusan, sedangkan retroactive evaluation bertujuan
untuk keperluan pertanggungjawaban.
Jadi, evaluasi hendaknya bertujuan dalam membantu pengembangan, implementasi, kebutuhan suatu program, perbaikan program,
pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan dan dukungan dari
stakeholders.
Salah satu tujuan evaluasi (Sujono,
2007 : 25) adalah;
1.
Untuk memperoleh dasar bagi
pertimbangan akhir suatu periode kerja, apa yang
telah dicapai, apa yang belum
dicapai, dan apa yang perlu mendapat perhatian
khusus.
2.
Untuk menjamin cara kerja yang
efektif dan efisien yang membawa organisasi
pada penggunaan sumber daya yang dimiliki
secara efesien dan ekonomis.
3.
Untuk memperoleh fakta tentang
kesulitan, hambatan, penyimpangan dilihat dari aspek-aspek tertentu
.
c.
Fungsi Evaluasi
Adapun fungsi evaluasi program Menurut scriven (1967:225) adalah sebagai
berikut:
1. Fungsi Formatif yaitu evaluasi dipakai untuk perbaikan dan pengembangan
kegiatan yang sedang berjalan (program, orang, produk, dsb).
2. Fungsi sumatif yaitu evaluasi dipakai untuk pertanggungjawaban, keterangan,
seleksi atau lanjutan. Jadi evaluasi hendaknya membantu pengembangan,
implementasi, kebutuhan suatu program, perbaikan program, pertanggungjawaban,
seleksi, motivasi, menambah pengetahuan dan dukungan dari mereka yang terlibat.
3. Fungsi diagnostik yaitu untuk mendiagnostik sebuah program.
Stuffebeam menyatakan ada dua fungsi
evaluasi program, yaitu:
1. Proactive Evaluation yaitu
evaluasi program yang dilakukan untuk melayani pemegang keputusan
2. Retroactive Evaluation yaitu evaluasi program yang dilakukan untuk keperluan pertanggung
jawaban.
d.Konsep Evaluasi Pelatihan.
Untuk
sebuah lembaga pelaksana Pelatihan, evaluasi sejatinya terdiri dari evaluasi awal pembelajaran (pretest), dengan tujuan untuk
melihat sejauh mana penguasaan peserta atas materi yang akan diikuti , kemudian
evaluasi akhir (post test) untuk
melihat sejauh mana penguasaan materi yang telah diterima peserta dari proses
dan penyampaian materi pembelajaran tersebut. Kedua evaluasi ini dilaksanakan
dikelas, baik dari segi penyelenggaraan maupun pada system
atau metode pembelajaran yang dilaksanakan.
Kemudian, untuk mengetahui sejauh
mana hasil pelatihan sudah dapat diterapkan oleh alumni dan tingkat efektifitas
pelatihan, serta faktor – faktor yang mempengaruhi dalam penerapan hasil
pelatihan, diperlukan kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanan
kegiatan pelatihan secara berkesinambungan, selain dari itu seberapa banyak
manfaat pelatihan dalam perkembangan usaha atau seberapa besar hasil pelatihan
telah dapat menunjang keberhsilan pekerjaan alumni , maka sangat perlu
dilakukan evaluasi selanjutnya yaitu Evaluasi Pasca Pelatihan yang dilaksanakan
± 6 bulan setelah pelatihan dilaksanakan.
Evaluasi Pasca Pelatihan pada dasarnya
merupakan upaya untuk mengetahui sejauh mana hasil yang telah dicapai oleh para
alumni pelatihan dan sebagai tolok ukur bagi penyelenggara apakah pelatihan
yang dilaksanakan bermanfaat dan dapat di praktekkan langsung oleh alumni
dilapangan untuk meningkatkan kesejahteraan dan lingkungannya melalui
penyebaran hasil pelatihan yang diperoleh.
e. Sasaran dan ruang lingkup.
Kegiatan
Evaluasi Pasca Pelatihan
antara
lain bertujuan untuk :
1. Untuk
mengetahui sejauh mana
tingkat efektifitas penyelenggaaraan
Pelatihan yang telah dilaksanakan .
2.Untuk mengetahui apakah dengan metode dan kurikulum serta
waktu pelatihan sudah tepat dan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat .
3. Untuk
mengetahui kendala – kendala yang
dihadapi alumni pelatihan dalam menerapkan hasil pelatihan yang diperolehnya.
Dari
segi Ruang lingkup Evaluasi Pasca Pelatihan adalah bahwa evaluasi Pasca dilaksanakan di tempat/lokasi
dimana peserta berada/tempat dimana peserta menerapkan ilmunya. Jumlah Responden ideal
yang dievaluasi adalah sebanyak 50 % atau minimal 20 % dari jumlah alumni Pelatihan .
f.Model-model
Evaluasi Program Pelatihan
Ada banyak model
evaluasi yang dikembangkan oleh para ahli dan
dapat dipakai dalam mengevaluasi program pelatihan. Kirkpatrick, salah seorang ahli evaluasi program training
dalam bidang pengembangan SDM selain menawarkan model evaluasi yang
diberi nama Kirkpatrick’s training evaluation
model juga menunjuk model-model lain yang
dapat dijadikan sebagai pilihan dalam mengadakan
evaluasi terhadap sebuah program training. Model-model yang
ditunjuk tersebut di antaranya adalah :
·
Five Level ROI Model (Jack PhillPS’)
·
CIPP Model (Daniel Stufflebeam’s)
·
Responsive Evaluation Model (Robert Stake’s)
·
Congruence-Contingency Model (Robert Stake’s)
·
Five Levels of Evaluation (Kaufman’s)
·
CIRO (Context, Input, R eaction, Outcome)
·
PERT (Program Evaluation and Review
Technique)
·
Goal-Free Evaluation Approach (Michael Scriven’s)
·
Discrepancy Model (Provus’s)
Dari berbagai model
tersebut di atas dalam tulisan ini
hanya akan diuraikan secara singkat beberapa model. Model yang diungkapkan Djuju Sudjana (2006: 225), yaitu:
A.
Evaluasi model CIPP
1. Konsep evaluasi model CIPP ( Context, Input,
Prosess and- Product) pertama
kali
ditawarkan oleh
Stufflebeam pada - tahun
1965 sebagai hasil usahanya
mengevaluasi
ESEA- (the Elementary and Secondary
Education Act).
2.
Konsep tersebut ditawarkan oleh Stufflebeam dengan pandangan-
bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan
membuktikan tetapi untuk memperbaiki.
The CIPP approach is based on the view that
the most important- purpose
of evaluation is not to prove but to
improve (Madus, Scriven,- Stufflebeam, 1993:
118). Evaluasi model CIPP dapat diterapkan dalam-
berbagai bidang,
seperti pendidikan, manajemen, perusahaan- serta dalam berbagai jenjang baik itu proyek, program atau institusi dan sebagainya serta dalam
berbagai jenjang baik itu proyek,- program atau institusi .
Dalam bidang pendidikan Stufflebeam menggolongkan- sistem pendidikan atas 4 dimensi,
yaitu context, input, process dan-
product sehingga
model evaluasi yang ditawarkan diberi nama
CIPP- model yang- merupakan singkatan ke empat dimensi tersebut- Nana Sudjana &-Ibrahim
(2004: 246) menterjemahkan masing
-.
masing dimensi
tersebut dengan makna sebagai berikut:
1.
Context : situasi atau latar belakang yang
mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi
pendidikan yang akan dikembangkan- dalam sistem
yang bersangkutan,- seperti misalnya masalah
pendidikan- yang dirasakan, keadaan ekonomi negara, pandangan hidup masyarakat
.
2.
Input: sarana/modal/bahan
dan rencana strategi yang ditetapkan untuk
mencapai tujuan-tujuan pendidikan.
3.
Process:
pelaksanaan strategi dan penggunaan sarana/modal/ bahan di dalam kegiatan nyata
di lapangan.
4.
Product : hasil yang dicapai baik selama maupun
pada akhir- pengembangan sistem pendidikan yang bersangkutan.
B. Evaluasi model
Brinkerhoff
Setiap desain evaluasi pada
umumnya terdiri dari elemen-elemen yang sama, ada banyak cara
untuk menggabungkan- elemen tersebut, masing-masing
ahli evaluasi atau evaluator mempunyai konsep yang berbeda
dalam hal ini. Brinkerhoff & CS (1993:111), mengemukakan
tiga golongan- evaluasi yang disusun berdasarkan
penggabungan elemen-elemen yang sama, seperti
evaluator -evaluator yang lain, namun dalam komposisi dan versi
mereka sendiri sebagai berikut :
1. Fixed
vs Emergent Evaluation Design
Desain
evaluasi yang tetap (fixed) ditentukan
dan direncanakan secara sistematik sebelum implementasi
dikerjakan. Desain dikembangkan berdasarkan tujuan program
disertai seperangkat pertanyaan yang akan
dijawab dengan informasi yang akan diperoleh dari
sumber-sumber tertentu. Rencana analisis dibuat
sebelumnya dimana sipemakai akan menerima
informasi seperti yang telah ditentukan dalam
tujuan. Walaupun desain fixed ini
lebih terstuktur daripada desain emergent,
desain fixed juga dapat disesuaikan dengan kebutuhan
yang mungkin berubah. Kebanyakan evaluasi
formal yang dibuat secara individu dibuat berdasarkan desain fixed, karena tujuan program
telah ditentukan dengan jelas sebelumnya, dibiayai
dan melalui usulan atau proposal evaluasi. (Brinkerhoff & CS, 1993:111).
2.Formative vs Sumative Evaluation
Evaluasi formatif
digunakan untuk memperoleh informasi yang dapat
membantu memperbaiki program. Evaluasi formatif
dilaksanakan pada saat implementasi program sedang
berjalan. Fokus evaluasi berkisar pada kebutuhan yang dirumuskan oleh
karyawan atau orang-orang program. Evaluator sering merupakan
bagian dari pada program dan kerjasama
dengan orang-orang program. Strategi pengumpulan
informasi mungkin juga dipakai tetapi penekanan
pada usaha memberikan informasi yang berguna
secepatnya bagi perbaikan program. evaluasi
sumatif dilaksanakan untuk menilai manfaat suatu
program sehingga dari hasil evaluasi akan
dapat ditentukan- suatu program tertentu akan
diteruskan atau dihentikan.
Pada evaluasi sumatif difokuskan pada variable-variabel yang dianggap
penting bagi sponsor program maupun pihak pembuat keputusan. Evaluator luar
atau tim reviu sering dipakai karena evaluator internal dapat mempunyai
kepentingan yang berbeda.
Waktu pelaksanaan
evaluasi sumatif terletak pada akhir implementasi program. Strategi
pengumpulan informasi akan memaksimalkan validitas eksternal dan
internal yang mungkin dikumpulkan dalam waktu yang cukup lama. (Nana Sudjana & Ibrahim, 2004: 246).
3.Experimental and
Quasi experimental Design vs Naural/Unotrusive.
Beberapa evaluasi
memakai metodologi penelitian klasik. Dalam hal
seperti ini subyek penelitian diacak, perlakuan
diberikan dan pengukuran dampak dilakukan. Tujuan dari
penelitian untuk menilai manfaat suatu program yang
dicobakan.
Apabila siswa atau program
dipilih secara acak, maka generalisasi dibuat
pada populasi yang agak lebih luas. Dalam
beberapa hal intervensi tidak mungkin dilakukan
atau tidak dikehendaki.
Apabila proses sudah
diperbaiki, evaluator harus melihat
dokumen-dokumen, seperti mempelajari nilai tes atau menganalisis- penelitian- yang dilakukan dan sebagainya.
Strategi pengumpulan data
terutama menggunakan instrument formal seperti
tes, suvey, kuesioner serta memakai metode
penelitian yang terstandar. (Nana Sudjana
& Ibrahim, 2004: 246).
C.
Evaluasi model Kirkpatrick
Menurut
Kirkpatrick (Djuju Sudjana 2006:246) evaluasi terhadap-
efektivitas program training mencakup empat level evaluasi, yaitu:
level 1 – Reaction, level 2 – Learning, level 3– Behavior, level 4 –
Result
1. Evaluating
Reaction
Mengevaluasi terhadap
reaksi peserta training berarti mengukur kepuasan
peserta (customer satisfaction).
Program training dianggap efektif apabila proses
training dirasa menyenangkan dan memuaskan bagi peserta
training sehingga mereka tertarik termotivasi untuk belajar
dan berlatih.
Dengan kata lain peserta training akan
termotivasi apabila proses training berjalan secara memuaskan bagi
peserta yang pada akhirnya akan memunculkan reaksi dari
peserta yang menyenangkan. Sebaliknya apabila
peserta tidak merasa puas terhadap proses
training yang diikutin ya maka mereka tidak
akan termotivasi untuk mengikuti training lebih
lanjut. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa
keberhasilan proses kegiatan training tidak
terlepas dari minat, perhatian dan motivasi
peserta training dalam mengikuti jalannya
kegiatan training. Orang akan belajar lebih
baik manakala mereka memberi reaksi positif
terhadap lingkungan belajar. (Djuju Sudjana 2006:247)
Kepuasan peserta training
dapat dikaji dari beberapa aspek, yaitu materi yang diberikan,
fasilitas yang tersedia, strategi penyampaian materi yang
digunakan oleh instruktur, media pembelajaran
yang tersedia, jadwal kegiatan sampai menu dan penyajian
konsumsi yang disediakan. (Djuju Sudjana 2006:248).
2.Evaluating Learning
Menurut Kirkpatrick (1988: 20) learning can be defined as the extend to
which participans change attitudes, improving
knowledge, and/or increase skill as a result of
attending the program. Ada tiga hal yang dapat instruktur
ajarkan dalam –
program training, yaitu
pengetahuan, sikap maupun ketrampilan. Peserta
training dikatakan telah belajar apabila pada dirinya
telah mengalamai perubahan sikap, perbaikan pengetahuan maupun peningkatan
ketrampilan. Oleh karena itu untuk mengukur
efektivitas program training maka ketiga aspek
tersebut perlu untuk diukur.
Tanpa adanya perubahan
sikap, peningkatan pengetahuan maupun perbaikan ketrampilan
pada peserta training maka program dapat
dikatakan gagal. Penilaian evaluating learning ini
ada yang menyebut dengan penilaian hasil (output) belajar. Oleh karena
itu dalam pengukuran hasil belajar (learning measurement) berarti
penentuan satu atau lebih hal berikut: a). Pengetahuan
apa yang telah dipelajari ?, b). Sikap apa yang telah berubah ?,
c). Ketrampilan apa yang telah dikembangkan atau diperbaiki ?. (Djuju Sudjana 2006:249).
3.Evaluating Behavior.
Evaluasi pada
level ke 3 (evaluasi tingkah laku)
ini berbeda dengan evaluasi terhadap sikap pada
level ke 2. Penilaian sikap pada
evaluasi level 2 difokuskan pada perubahan sikap yang
terjadi pada saat kegiatan training dilakukan
sehingga lebih bersifat internal, sedangkan
penilaian tingkah laku difokuskan pada perubahan
tingkah laku setelah peserta kembali ke tempat
kerja. Apakah perubahan sikap yang telah terjadi setelah mengikuti
training juga akan diimplementasikan setelah peserta
kembali ke tempat kerja, sehingga penilaian
tingkah laku ini lebih bersifat eksternal.
Perubahan perilaku
apa yang terjadi di tempat kerja setelah
peserta mengikuti program training. Dengan kata
lain yang perlu dinilai adalah apakah
peserta merasa senang setelah mengikuti training
dan kembali ke tempat kerja?. Bagaimana
peserta dapat mentrasfer pengetahuan, sikap dan
ketrampilan yang diperoleh selama training untuk
diimplementasikan di tempat kerjanya. Karena
yang dinilai adalah perubahan perilaku setelah kembali
ke tempat kerja maka evaluasi level 3 ini dapat
disebut sebagai evaluasi terhadap outcomes dari
kegiatan training. (Djuju Sudjana 2006:249)
4.Evaluating Result.
Evaluasi hasil
dalam level ke 4 ini difokuskan pada
hasil akhir (final result)
yang terjadi karena peserta telah mengikuti
suatu program. Termasuk dalam kategori hasil
akhir dari suatu program training di
antaranya adalah
kenaikan produksi,
peningkatan kualitas, penurunan biaya, penurunan
kuantitas terjadinya kecelakaan kerja, penurunan turnover dan kenaikan keuntungan.
Beberapa program mempunyai tujuan meningkatkan
moral kerja maupun membangun teamwork yang
lebih baik. Dengan kata lain adalah evaluasi
terhadap impact program. (Djuju Sudjana 2006:250).
D.
Evaluasi model Stake (Model Countenance).
Stake menekankan adanya dua dasar
kegiatan dalam evaluasi, yaitu description dan judgement dan membedakan adanya
tiga tahap dalam program pelatihan, yaitu antecedent (context), transaction (process)
dan outcomes. Stake mengatakan bahwa
apabila kita menilai suatu program
pelatihan, kita melakukan perbandingan yang
relatif antara program dengan program yang
lain, atau perbandingan yang absolut yaitu
membandingkan suatu program dengan standar
tertentu. Penekanan yang umum atau hal
yang penting dalam model ini adalah bahwa
evaluator yang membuat penilaian tentang
program yang dievaluasi. Stake mengatakan bahwa description di satu pihak
berbeda dengan judgement di
lain fihak. Dalam model ini antecendent (masukan) transaction (proses) dan outcomes (hasil) data di
bandingkan tidak hanya untuk menentukan
apakah ada perbedaan antara tujuan dengan
keadaan yang sebenarnya, tetapi juga
dibandingkan dengan standar yang absolut untuk
menilai manfaat program (Farida Yusuf
Tayibnapis, 2000: 22).
E. Evaluasi
Pelatihan Transmigrasi.
Pada masalah pelatihan
transmigrasi, secara umum dapat dipahami bahwa untuk mengukur
keberhasilan pembinaan yang bersifat phisyk material bagi transmigran relatif lebih mudah dilakukan,namun untuk pembinaan yang sifatnya non fisik
seperti peningkatan kualitas SDM melalui kegiatan pelatihan relatif cukup
sulit, sebab memerlukan cara-cara tersendiri
yang telah diatur secara baku dalam manajemen pelatihan (Training Management).
Guna mengukur tingkat
keberhasilan yang pada hakekatnya merupakan human interest ( investasi yang
ditanamkan pada SDM Transmigran) diperlukan tekhnik-tekhnik tersendiri sejalan
dengan proses daur ulang (Training cycles by process) yang meliputi 5 (lima)
tahapan proses, yaitu :
1.
Penelusuran Kebutuhan Pelatihan (Training
Needs Assessment/TNA).
2.
Penentuan Tujuan Pelatihan (Training Objektif Define/TOD).
3.
Perencanaan Program Pelatihan (Training Programme Disigne
/TPD).
4.
Pelaksanaan Pelatihan ( Training Implementation/TI).
5.
Evaluasi Pelatihan (Training
Evaluation/TI).
Satu sama lain
saling terkait dan saling mempengaruhi.
Selain itu dalam mengukur keberhasilan Pelatihan juga harus diukur kinerja
(Performance) warga transmigran dimaksud pada saat sebelum pelatihan,
selama pelatihan dan sesudah (pasca) pelatihan dengan cara-cara tertentu yang sesuai dengan
kaidah-kaidah dalam manajemen pelatihan.
a.
Evaluasi Peserta Pelatihan.
Evaluasi peserta pelatihan adalah
evaluasi yang bertjuan untuk mengetahui dan mencari informasi mengenai
ketercapaian program pelatihan dilihat dari peningkatan kemampan atau kopetensi
baik bagi instruktur maupun peserta
pelatihan.
Evaluasi
Kemajuan Peserta merupakan evaluasi yang dilaksanakan untuk mengetahui
peningkatan peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui Pretest (Evaluasi awal pelatihan) dan Post Test (Evaluasi akhirl pelatihan)
Dari hasil Pretest dan Post Test diketahui
bahwa pengetahuan yang mereka miliki dapat lebih dikembangkan dan ditingkatkan
melalui keterlibatan mereka dalam mengikuti pelatihan.
Terdapat tiga langkah evaluasi
pelatihan dengan menggunakan instrumen evaluasi dan rancangannya tergantung dari
langkah evaluasi apa yang akan dilakukan. Langkah langkah tersebut antara lain:
a.Evaluasi awal pelatihan;
Evaluasi ini dilakukan sebelum pelatihan dimulai dengan tujuan untuk :
(1).Mengetahui reaksi peserta terhadap materi
yang diberikan;
(2). Mengetahui tingkat pengetahuan atau
tingkat kompetensi teknis peserta;
(3). Sebagai informasi bagi pelatih.
b.Evaluasi proses pelatihan. Tujuannya adalah
(1). Mengetahui reaksi peserta terhadap
sebagian atau keseluruhan program pelatihan; (2). Mengetahui hasil pembelajaran
peserta;
(3). Mengantisipasi tindakan tertentu ketika
diperlukan untuk mengambil langkah-
langkah perbaikan.
c.Evaluasi program pelatihan.
Adapun
tujuan dari Evaluasi program pelatihan adalah :
(1).
Mengetahui hasil pelaksanaan pelatihan dan pengaruhnya terhadap kinerja serta masalah-masalahnya;
(2) Mengetahui opini pemimpin dan bawahan
peserta mengenai hasil pelatihan;
(3) Mengetahui hubungan hasil pelatihan serta
dampaknya bagi organisasi di tempat peserta
bekerja. (Moekijat, 1990:20).
d. Evaluasi
setelah pelatihan (Pasca Pelatihan)
Evaluasi setelah pelatihan pada tingkat
perilaku dalam pekerjaan sangat penting, karena belum tentu pengetahuan
dan pengalaman pembelajaran yang diperoleh dapat diterapkan dalam pekerjaan,
tetapi perilaku yang baik dalam pekerjaan merupakan gabungan dari pengetahuan,
keterampilan dan sikap. Untuk mengetahui seberapa jauh peserta mengadakan
perubahan perilaku dalam pekerjaan setelah mengikuti pelatihan, evaluasi
hendaknya dilaksanakan oleh beberapa pihak, antara lain: peserta sendiri,
atasan peserta, bawahan peserta, teman sekerja dan pasen serta
masyarakat. (Moekijat, 1990:25).
Salah satu tehnik evaluasi
setelah pelatihan yang berhubungan dengan perilaku adalah pendekatan terhadap evaluasi, (Moekijat, 1990:27) dengan 3 langkah evaluasi:
1.Evaluasi oleh peserta segera
setelah pelatihan dengan menggunakan daftar isian..
2.Evaluasi oleh peserta 4 bulan setelah pelatihan dengan
menggunakan daftar
isian.
3 Evaluasi
peserta dengan supervisornya 6 bulan setelah pelatihan dengan tehnik wawancara
terpola dan pertanyaannya meliputi: tujuan pelatihan, metoda,isi dan pendapat
mengenai penerapannya.
Bagi peserta pelatihan ,
evaluasi dapat memberikan feedback
berupa seberapa signifikannya pelatihan tersebut mempunyai impact/dampak bagi pekerjaannya, perubahan bagi dirinya,
kecocokan program dan manfaat-manfaat lainnya.
Ini adalah daftar berbagai
aspek pelatihan yang dimasukkan ke dalam evaluasi peserta (Moekijat, 1990:30), yaitu:
1. .Apakah tujuan pelatihan,
sasaran pembelajaran, dsb, sudah terpenuhi
Pertanyaan khusus tentang kaitan
dari masing-masing sesi; apakah informasi yang disampaikan sudah sesuai dan
memadai; apakah penyampaiannya diberikan dengan cara yang menarik
2. Bagaimana para peserta
menerima dan mengambil manfaat dari
setiap tugas pelatihan yang diberikan.
3. Apakah ada yang hilang dari
pelatihan tersebut
4. Kualitas dan hubungan
dari handout
5. Kenyamanan tempat pelatihan
6. Ruang yang diberikan dari
tempat pelatihan
7. Suhu dan sirkulasi udara dalam
tempat pelatihan
8. Saran-saran umum tentang
tempat pelatihan (kondusif untuk pelatihan, suasana yang tenang, dsb)
9. Kualitas konsumsi: tepat
waktu, memadai, sesuai dengan harganya
10. Apabila para peserta memiliki
ketentuan-ketentuan pelatihan lanjutan
Daftar Isian (kuesioner) untuk evaluasi awal pelatihan dan
evaluasi akhir menggunakan daftar isian
yang sama , yang berbeda adalah
hasil akhir. Hasil dari evaluasi awal dapat dipakai untuk
mengukur sejauh mana peserta telah menguasai meteri yang akan dilatih,hasil
evaluasi akhir diharapkan lebih tinggi dari evaluasi awal.Apabila hasil
dari evaluasi akhir lebih baik dari
evaluasi awal hal ini menandakan bahwa telah ada kemajuan dari sisi
peserta baik dari pengetahuan dan
keterampilan sesuai dengan apa yang
dievaluasi.
2.Evaluasi Instruktur Pelatihan
Bagi sang trainer/ instruktur,
evaluasi tidak kalah pentingnya, yaitu dapat memberikan feedback tentang apakah
peserta puas dengan isi program training, kedalaman meteri training, caranya
mengajar, caranya mendelivery ilmunya dan sebagainya. Bukan hal yang mudah bagi
seorang trainer untuk dapat memuaskan seluruh pesertanya, bisa dibayangkan,
jika dalam sebuah kelas pelatihan, jumlah peserta 10, 20, 30 bahkan mungin 500
peserta, sang trainer dituntut untuk dapat bertindak secara efektif dan efisien
agar seluruh materi dapat terserap dan seluruh peserta puas dengan caranya
mentransfer seluruh isi materi. Seorang trainer dituntut mampu memainkan peran
sebagai seorang trainer, coach, guru, fasilitator, entertainer, pendongeng atau
bahkan mungkin sebagai pelawak.Jadi, aspek yang dinilai untuk instruktur atau
fasilitator meliputi: Penguasaan atas materi yang diajarkan dan
Kemampuan dalam menyajikan materi.
Untuk seorang instruktur yang
dievaluasi lain adalah antara lain :
1.
Penguasaan Materi.
Penguasaan matei bagi seorang instruktur/fasilitator
sangat penting, seorang instruktur ditugaskan melaksanakan tugas mengharuskan
untuk menguasai suatu materi. Apa jadinya bila seorang intruktur ketika didepan
kelas tidak mengusai bahan materi yang
diajarkan. seorang instruktur harus memiliki kompetensi yang berkaitan
dengan tugasnya antara lain : Pertama, kompetensi pedagogic, maksudnya adalah
kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik.Kedua, kompetensi kepribadian,
maksudnya adalah kemampuan kepribadian
yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan
peserta. Ketiga, kompetensi profesional, maksudnya adalah kemampuan penguasaan
materi pelajaran secara luas dan mendalam. Keempat, kompetensi sosial,
maksudnya adalah kemampuan instruktur/fasilitator untuk berkomunikasi dan
berinteraksi secara efektif dan efesien dengan peserta didik, sesama guru,
orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Instruktur/fasilitator profesional tidak akan
bisa terus bertahan (survive), bila ia tidak terus menerus memperdalam
pengetahuannya, mengasah keterampilannya, dan memperkaya wawasan dan
pengalamannya. Untuk itulah para profesional membutuhkan proses belajar
(termasuk praktek) yang berkesinambungan (continual), dengan bermacam-macam
cara. Mulai dari membaca buku, menganalisa pengalaman orang lain, mengikut seminar
atau diskusi (bukan untuk mencari sertifikat tapi cari ilmu), kerja praktek
hingga mengikuti program reedukasi (retraining) mungkin juga melanjutkan studi
kejenjang yang lebih tinggi.
Kemampuan mengajar instruktur/fasilitator yang
sesuai dengan tuntutan standar tugas yang diemban memberikan efek positif bagi
hasil yang ingin dicapai seperti perubahan hasil akademik peserta, sikap peserta,
keterampilan, dan perubahan pola kerja instruktur/fasilitator yang makin
meningkat, sebaliknya jika kemampuan mengajar yang dimiliki instruktur/fasilitator
sangat sedikit akan berakibat bukan saja menurunkan prestasi prestasi tetapi
juga menurunkan tingkat kinerja instruktur/fasilitator itu sendiri. Untuk itu
kemampuan mengajar instruktur/fasilitator tugas dan fungsinya, tanpa kemampuan
mengajar yang baik sangat tidak mungkin instruktur/fasilitator mampu melakukan
inovasi atau kreasi dari materi yang ada menjadi sangat penting dan menjadi
keharusan bagi instruktur/fasilitator untuk dimiliki dalam menjalankan dalam
kurikulum yang pada gilirannya memberikan rasa bosan bagi instruktur/fasilitator
maupun peserta untuk menjalankan tugas dan fungsi masing-masing.
Menurut Wina Sanjaya (2007) kemampuan dalam
penguasaan materi sesuai dengan bidang yang diajarkan adalah salah satu tingkat
keprofesionalan seorang instruktur/fasilitator. Kemampuan penguasaan materi
memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi.
Menurut Muhammad Ali (1996:44) “kehadiran
seorang instruktur/fasilitator haruslah seorang yang memang professional dalam
arti memiliki ketrampilam dasar mengajar yang baik, memahami atau menguasai
bahan dan memilliki loyalitas terhadap tugasnya sebagai instruktur/fasilitator”.
Dengan demikian instruktur/fasilitator dituntut harus memiliki kompetensi.
Salah satu kompetensi yang harus dimiliki seorang instruktur/fasilitator adalah
kompetensi professional.
Kompetensi professional yang dimaksud disini
adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang
memungkinkannya membimbing para peserta latih.
2.
Penguasan Methodologi.
Kata
“Metodologi” berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara,
dan logos yang berarti ilmu. Dengan demikian Metodologi dapat diartikan ;
Suatu disiplin
ilmu yang berhubungan dengan metode,
peraturan, atau kaedah yang diikuti dalam ilmu pengetahuan. Penguasaan metodologi (cara
penyampaian materi,kaedah yang sesuai dengan kompetensi) bagi seorang instruktur/fasilitator karena pendidikan dan pelatihan adalah usaha sadar
untuk menumbuhkembangkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) melalui kegiatan
pengajaran. Ada dua buah konsep kependidikan yang berkaitan dengan lainnya,
yaitu belajar ( learning ) dan pembelajaran ( intruction ). Konsep belajar
berakar pada pihak peserta didik dan konsep pembelajaran berakar pada pihak
pendidik.
Dalam
proses belajar mengajar (PBM) akan terjadi interaksi antara peserta didik dan
pendidik. Peserta didik adalah seseorang atau sekelompok orang sebagai pencari,
penerima pelajaran yang dibutuhkannya, sedang pendidik adalah seseorang atau
sekelompok orang yang berprofesi sebagai pengolah kegiatan belajar mengajar dan
seperangkat peranan lainnya yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar
mengajar yang efektif.
Kegiatan
belajar mengajar melibatkan beberapa komponen, yaitu peserta didik, guru /
instruktur (pendidik), tujuan pembelajaran, isi pelajaran, metode mengajar,
media dan evaluasi. Tujuan pembelajaran adalah perubahan prilaku dan tingkah
laku yang positif dari peserta didik setelah mengikuti kegiatan belajar
mengajar, seperti : perubahan yang secara psikologis akan tampil dalam tingkah
laku (over behaviour) yang dapat diamati melalui alat indera oleh orang lain
baik tutur katanya, motorik dan gaya hidupnya. Tujuan pembelajaran yang
diinginkan tentu yang optimal, untuk itu ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh pendidik, salah satu diantaranya yang menurut penulis penting
adalah metodologi mengajar.
Metodologi
mengajar/melatih perlu dimiliki oleh pendidik/ instruktur/fasilitator, karena keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM)
bergantung pada cara/mengajar instruktur/fasilitator. Jika cara mengajar instruktur/fasilitator enak menurut peserta,
maka peserta akan tekun, rajin, antusias menerima pelajaran yang diberikan,
sehingga diharapkan akan terjadi perubahan dan tingkah laku pada peserta baikpengetahuan,keterampilan
yang akan meningkat atau berupa tutur katanya, sopan santunnya, motorik dan
gaya hidupnya.
Metodologi
mengajar/melatih banyak ragamnya, kita
sebagai pendidik/ instruktur/fasilitator tentu harus memiliki
metode mengajar yang beraneka ragam, agar dalam proses belajar mengajar tidak menggunakan
hanya satu metode saja, tetapi harus divariasikan, yaitu disesuaikan dengan
tipe belajar siswa dan kondisi serta situasi yang ada pada saat itu, sehingga
tujuan pengajaran yang telah dirumuskan oleh pendidik dapat terwujud/tercapai.
Karena begitu pentingnya metode mengajar dalam pembelajaran . Beberapa metode
pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran antara lain :
ceramah,diskusi,role play,manajemen game dsb.
Tentunya
sebagai seorang instruktur/fasilitator penguasaan
beragam metodologi ini sangat perlu dikuasai dan diramu
sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran akan mudah dicapai.
3.
Gaya/Penampilan
Bagaimanakah gaya mengajar guru yang terbaik dan yang ideal itu?
Masalahnya
disini adalah bukan tentang bagaimana gaya mengajar instruktur/fasilitator yang paling
baik, melainkan mengenai gaya mengajar yang tepat dan sesuai, sesuai dengan
apa? Sesuai dengan karakteristik peserta dan sesuai dengan kebutuhan pengajaran
di kelas/ditempat praktek. Untuk mengetahui gaya mengajar manakah yang tepat
dan sesuai untuk digunakan, sebelumnya instruktur/fasilitator
mengetahui bagaimana karakteristik peserta
dan apa tujuan pembelajaran /materi. Agar instruktur/fasilitator
lebih banyak mengetahui tentang gaya
mengajar, berikut akan saya uraikan mengenai pengertian serta berbagai macam
gaya mengajar guru beserta ciri-cirinya.
1. Pengertian
Gaya Mengajar Guru
Gaya adalah suatu pembawaan seseorang yang dipengaruhi oleh faktor
lingkungan dan faktor alamiah seperti karakteristik. Gaya menjadi ciri khas
yang dibawa seseorang dalam melakukan aktivitas. Mengajar pada hakikatnya
bermaksud mengantarkan siswa mencapai tujuan yang telah direncanakan
sebelumnya, dalam praktek perilaku mengajar yang dipertunjukkan guru sangat
beraneka ragam. Aneka ragam perilaku guru dalam mengajar ini bila ditelusuri
akan diperoleh gambaran pola umum interaksi antara guru, isi, atau bahan
pelajaran dan siswa. Pola umum ini oleh Dianne Lapp dan kawan-kawan (dalam Ali,
2010: 57) diistilahkan dengan gaya mengajar atau teaching style.
Sedangkan menurut Suparman (2010: 60),
“mengajar yang baik adalah mengajar dengan sepenuh hati, ikhlas, inovatif,
memunculkan motivasi belajar dan minat belajar serta tentunya meningkatkan
prestasi belajar. Dalam mengajar akan berhasil jika memiliki metode atau gaya
mengajar yang jelas, terarah, memiliki tujuan dan sistematis”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa mengajar adalah upaya untuk memberikan
pengarahan, bimbingan, maupun rangsangan kepada peserta didik agar dapat
mencapai tujuan belajar dan meningkatkan hasil belajar.
Suparman (2010: 63) mengemukakan bahwa gaya
mengajar adalah cara atau metode yang dipakai guru ketika sedang melakukan pengajaran. Menurut Thoifuri (2013:81), gaya
mengajar adalah bentuk penampilan guru saat mengajar, baik yang bersifat
kurikuler maupun psikologis. Gaya mengajar yang bersifat kurikuler adalah guru
mengajar yang disesuaikan dengan tujuan dan sifat mata pelajaran tertentu. Gaya mengajar yang bersifat psikologis adalah guru mengajar yang disesuaikan
dengan motivasi siswa, pengelolaan kelas dan evaluasi hasil belajar.
Menurut Thoifuri (2013: 87) dalam
bukunya menjadi guru inisiator , pendekatan
dalam mengajar merupakan proses penentuan cepat tidaknya siswa mencapai
tujuan belajar. Pendekatan gaya mengajar akan menjadi tepat guna jika
selaras dengan tujuan, materi
pelajaran,dan minat serta
kebutuhan siswa, baik dilakukan dalam bentuk pengajaran kelompok maupun individual. Menurut Grasha (2002: 1) Style in teaching is more than a superficial
collection of interesting mannerisms used to create an impression.
Ali (2010: 57) menyimpulkan bahwa gaya mengajar yang dimiliki oleh seorang
guru mencerminkan pada cara melaksanakan
pengajaran, sesuai dengan pandangannya sendiri. Di samping itu landasan
psikologis, terutama teori belajar yang dipegang serta kurikulum yang
dilaksanakan juga turut mewarnai gaya mengajar guru yang bersangkutan.
Dari penjelasan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya
mengajar adalah suatu cara atau bentuk penampilan seorang guru/ instruktur/fasilitator dalam menanamkan pengetahuan, membimbing, mengubah atau mengembangkan
kemampuan, perilaku dan kepribadian siswa/peserta latih dalam mencapai tujuan proses belajar. Dengan demikian, gaya mengajar guru/ instruktur/fasilitator merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan proses belajar
siswa. Oleh karena itu, apabila seorang guru memiliki gaya mengajar yang baik,
maka diharapkan hasil belajar siswa juga menjadi lebih baik.
4.
Bahasa & Kemudahan dipahami.
Evaluasi i seorang dari seorang instruktur/fasilitator juga
melingkupi kemudahan memahami bahasa yang disampaikan, dalam arti kata seorang instruktur/fasilitator harus mampu melakukan komunikasi
yang efektif dengan peserta latih.
Komunikasi efektif yaitu komunikasi yang mampu menghasilkan perubahan sikap
(attitude change) pada orang lain yang bisa terlihat dalam proses komunikasi.
Tujuan
Tujuan dari Komunikasi Efektif sebenarnya adalah memberi kan kemudahan dalam
memahami pesan yang disampaikan antara pemberi informasi dan penerima informasi
sehingga bahasa yang digunakan oleh pemberi informasi lebih jelas dan lengkap,
serta dapat dimengerti dan dipahami dengan baik oleh penerima informasi yang
dalam hal ini adalah peserta latih dan instruktur/fasilitator, atau komunikan.
tujuan lain dari Komunikasi Efektif adalah agar pengiriman informasi dan umpan balik atau feed back dapat
seimbang sehingga tidak terjadi monoton. Selain itu komunikasi efektif dapat
melatih penggunaan bahasa nonverbal secara baik.
Menurut Mc. Crosky Larson dan Knapp mengatakan bahwa
komunikasi yang efektif dapat dicapai dengan mengusahakan ketepatan (accuracy)
yang paling tinggi derajatnya antara komunikator dan komunikan dalam setiap
komunikasi. Komunikasi yang lebih efektif terjadi apabila komunikator dan
komunikan terdapat persamaan dalam pengertian, sikap dan bahasa. Komunikasi
dapat dikatakan efektif apa bila komunikasi yang dilakukan dimana :
1. Pesan dapat diterima dan dimengerti serta dipahami
sebagaimana yang dimaksud oleh pengirimnya.
2. Pesan yang disampaikan oleh pengirim dapat
disetujui oleh penerima dan ditindaklanjuti dengan perbuatan yang diminati oleh
pengirim.
3. Tidak ada hambatan yang berarti untuk melakukan apa
yang seharusnya dilakukan untuk menindaklanjuti pesan yang dikirim.
Komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan
perilaku danmemungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia
sekitarnya. Menurut Potter dan Perry (1993), komunikasi terjadi pada tiga
tingkatan yaitu intrapersonal, interpersonal dan publik. Seorang
instruktur/fasilitator haruslah menguasai ketiga tingkatan ini apakah itu intrapersonal,
interpersonal dan publik agar apa yang disampaikan mudah diterima dan dapat
diterapkan serta terjadi perubahan sikap peserta.
5.
Menggungah Semangat.
Seorang instruktur/fasilitator
harus mampu menggugah semangat
para peserta terutama semangat belajar. Jangan sampai ketika instruktur/fasilitator berdiri didepan kelas, peserta memiliki kegiatan yang
lain seperti mengobrol atau sibuk dengan hp, tertidur dsb. Apabila
ini terjadi berarti instruktur/fasilitator belum/ tidak dapat menggugah semangat peserta. Akibatnya
adalah tujuan dan sasaran
pembelajaran tidak tercapai.
Dapat tidaknya seorang instruktur/fasilitator
menggugah semangat belajar siswa juga akan menjadi tolak ukur
keberhasilan yang akan dievaluasi. Pesertalah yang lebih tahu apakah instruktur/fasilitator dapat menggugah semangat
belajar nya atau tidak. Contoh Instrument Evaluasi Peserta dan instruktur terlampir.
@@@@@@@@@
BAB V
KONSEP BIMBINGAN PASCA PELATIHAN TRANSMIGRASI
(BPPT)
Menyadari bahwa peningkatan
kualitas SDM melalui pelatihan adalah upaya yang cukup mahal dan hasilnya tidak
segera dapat dilihat dengan
kasat mata, maka setiap upaya penyelenggaraan kegiatan pelatihan diharapkan
dapat mencapai suatu peningkatan kemampuan-kemampuan tertentu yang sedemikian rupa diusahakan untuk selalu
berhasil, meskipun dalam kenyataannya dilapangan sering dijumpai adanya
kegagalan-kegagalan . Namun satu hal
yang pasti bahwa kegagalan-kegagalan itu tidaklah mutlak atau gagal dalam
segala aspek. Kegagalan biasanya hanya pada aspek-aspek tertentu saja, seperti
aspek pelatih, materi, sarana dan media, dan lain-lain yang setelah
dimonitor dan dievaluasi umumnya dapat
disempurnakan pada tahun berikutnya. Namun demikian salah satu aspek penting
dalam pelatihan yang tidak boleh gagal adalah aspek penerapan kemampuan
yang telah melalui suatu pelatihan . Jika hal ini sampai terjadi atau
penerapan gagal, maka itu berarti sama dengan kegagalan mutlak atau
pelatihan itu tidak membawa manfaat
ataupun perubahan apapun dalam kinerja transmigran dan ini tidak boleh terjadi.
Salah satu bentuk evaluasi didalam pelatihan transmigrasi adalah bimbingan pasca pelatihan , atau dalam istilah disebut kegiatan Remedial Training. Kegiatan bimbingan pasca pelatihan atau
remedial training pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk mendorong terwujudnya penerapan hasil
pelatihan (kemampuan) ke dalam kegiatan nyata para alumni pelatihan tertentu
yang dapat tercermin pada kinerjanya dibidang kemampuan yang dilatihkan.
Kegiatan ini tentunya dilakukan pada tahapan
Training Implementation atau
pelaksanaan pelatihan. Penggunaan istilah Bimbingan
Pasca Pelatihan itu sendiri telah menunjukkan
posisi/kedudukan yang mengacu kepada waktu/saat bimbingan itu
dilaksanakan yaitu sesudah pelatihan dilaksanakan
.
Pada hakekatnya pelatihan
transmigrasi adalah upaya untuk menumbuhkan motivasi, meningkatkan kepercayaan
diri, pengetahuan dan keterampilan agar memiliki kekuatan dan kemampuan dalam
mengembangkan usaha-usaha produktif di permukimannya sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan keluarganya secara mandiri. Untuk itu sejak
dini (sebelum diberangkatkan) kepada
calon transmigran telah diberikan
pelatihan-pelatihan yang kemudian secara konsisten akan terus berlanjut
didaerah penempatannya, dengan demikian
pemberian pelatihan kepada transmigran dilaksanakan di daerah asal,
daerah transmigrasi dan di Pusat. Tentu saja prioritas materi yang diberikan
berbeda-beda disesuaikan dengan tingkatan kebutuhan, tujuan dan sasaran
masing-masing.
Didaerah asal pada dasarnya pelatihan diberikan untuk
menumbuh kembangkan motivasi, tekad,
semangat juang serta wawasan mereka sebagai seorang yang memilih jalan
hidup menjadi transmigran.Dalam konteks ini diberikan Pelatihan Dasar Umum (PDU) baik kepada Kepala
Keluarga (KK), istri, anak usia produktif, anak usia sekolah, maupun balita.
Bagi KK, istri dan anak balita diprogramkan kelas khusus, sedangkan bagi anak
usia produktif disisipkan kedalam kelas KK, namun bagi anak usia sekolah
diberikan bimbingan belajar sesuai tingkatnya namun belum diprogramkan secara
khusus.
Sebagaimana diketahui pelatihan di
daerah transmigrasi sangat banyak bentuk dan
jenisnya,hal ini disebabkan oleh beragamnya permasalahan yang dihadapi dalam
rangka pembinaan masyarakat transmigran.Warga transmgrasi didaerah penempatan
yang baru menghadapi banyak sekali kesulitan dan tantangan. Tidak saja
disebabkan oleh uniknya sumber daya manusia transmigran itu sendiri, ditambah
lagi dengan sasaran akhir dari penempatan transmigran sebagai pusat-pusat
pertumbuhan baru. Sumber daya alam (SDA) juga cukup terbatas, belum lagi
tantangan oleh adanya perubahan ekosistem, dari ekosistem hutan menjadi permukiman/hunian. Lebih lanjut
masa pembinaan yang tersedia juga sangat cukup singkat (± 5 tahun) untuk
mewujudkan misi pokok kementerian yang demikian berat dan kompleks.
Besarnya tantangan yang dihadapi itu bukanlah penghalang bagi program
pelatihan, namun justru menjadikan program pelatihan bertambah urgen dan strategis dalam konteks
penyelenggaraan pembangunan transmigrasi.Dari sisi lain, penerapan
manajemen pelatihan oleh Balatrans di
daerah transmigrasi, tidak luput dari kendala dan permasalahan . Belum
optimalnya pencapaian efektifitas pelatihan terutama diakibatkan antara
lain pelaksanaan pelatihan belum mengacu pada kaedah-kaedah Manajemen Pelatihan yang
baik, kualitas dan kuantitas pelatih, keterpaduan dan sinkronisasi program.
Menyadari semua itu kiranya pelatihan-pelatihan transmigrasi yang banyak
bentuk dan jenisnya dan yang telah menggunakan cukup banyak dana pembangunan
itu, tentu tidak boleh gagal. Sehingga sebagaimana yang telah diuraikan terdahulu keberhasilan pelatihan dapat
dilihat/tercermin dari kinerja alumninya dalam penerapan kemampuan dibidang
yang dilatihkan, maka kekuranga-kekurangan yang tampak pada periode pasca
pelatihan perlu diperbaiki/disempurnakan dengan kegiatan yang disebut Remedial
Training atau Bimbingan Pasca Pelatihan.
Bimbingan Pasca Pelatihan ini demikian
pentingnya sebagai upaya menyelamatkan hasil-hasil pelatihan yang belum optimal
baik untuk pelatihan didaerah asal atau daerah penempatan, dengan kesimpulan
bahwa kegiatan Bimbingan Pasca Pelatihan ini mutlak perlu diprogramkan.
a.
Pengertian Bimbingan
Pasca Pelatihan Transmigrasi (BPPT).
Pengertian Bimbingan Pasca Pelatihan Transmigrasi (BPPT) adalah “
Suatu kegiatan/upaya yang dilakukan oleh Pembina/pelaksana pelatihan
transmigrasi pada waktu tertentu setelah pelatihan tersebut selesai
dilaksanakan, terhadap para alumni serta masyarakat disekelilingnya untuk
mengoptimalkan manfaat penerapan hasil pelatihan dimaksud dalam kegiatan
produktif sehari-hari “. Dari
rumusan ini terdapat beberapa hal yang merupakan kriteria pokok dari kegiatan
bimbingan Pasca Pelatihan, yaitu :
1.
Diprakarsai oleh pembina atau penanggung jawab pelatihan transmigrasi tertentu.
2.
Diselenggarakan dilokasi permukiman transmigrasi /UPT tertentu
3.
Di UPT tersebut tersedia ± 10 orang alumni pelatihan yang telah mempelajari
suatu bidang tertentu.
4.
Bidang kemampuan (no.3) tersebut dipandang
memadai untuk diterapkan dengan dalam kegiatan usaha produktif.
5.
Identifikasi (diagnosa) terhadap kebutuhan BPPT dilakukan dengan
mempertimbangkan tenggang waktu antar berakhirnya pelatihan dengan kegiatan penerapan usaha produktif
yang dikembangkan dan mengacu kepada
RKTL, musim tanam dan kemungkinan lainnya.
6.
Hasil identifikasi BPPT memuat dengan jelas kebutuhan bimbingan yang disertai
aspek-aspek pendukung lainnya, seperti :
Kurikulum,
metode, sarana dan media, pemandu, narasumber/pakar, yang memadai untuk
digunakan sebagai dasar penyusunan program maupun acuan pelaksanaannya.
7.
Pelaksanaan BPPT
dapat dilakukan setelah disusun menjadi program
pada tahun anggaran berikutnya atau dilaksanakan dalam tahun anggaran
yang bersangkutan.
8.
Salah satu
tujuan pokok dari kegiatan BPPT adalah mendayagunakan seluruh potensi yang
tersedia dilokasi permukiman/UPT seperti : alumni pelatihan, pembina lapangan,
perangkat desa, tokoh masyarakat, petugas lintas sektor, maupun pengusaha kecil
dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
9.
Hasil akhir yang
ingin dicapai adalah terwujudnya berbagai kegiatan usaha produktif sebagai
dampak dari keberhasilan pelatihan
transmigrasi yang pada gilirannya diharapkan dapat mempercepat upaya
peningkatan kesejahteraan hidup dan penghidupan transmigran dan masyarakat
sekitarnya.
b.
Manfaat
(essensi).
Manfaat pokok semua
kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan transmigrasi selalu
diorientasikan semaksimal mungkin kepada
kesejahteraan seluruh masyarakat transmigran serta masyarakat umum
disekitarnya. Namun demikian secara esensial suatu kegiatan pembangunan
transmigrasi diharapkan sekaligus juga mengandung makna dampak berganda, artinya kegiatan dimaksud tidak hanya
semata-mata memupnyai kemanfaatan dari satu sisi saja, tapi diharapkan
bermanfaat pula bagi institusi penyelenggara, personil pendukung,
maupun kelembagaan sosial ekonomi terkait. Dengan demikian beberapa manfaat
pokok dari kegiatan BPPT sebagai berikut :
1.
Meningkatkan
kesejahteraan warga transmigran dan
masyarakat sekitar.
2.
Meningkatkan
motivasi warga transmigran baik dalam mengembangkan usaha-usaha produktif, kerjasama kelompok
maupun motivasi belajar mereka.
3.
Menanamkan tekad
yang kuat untuk tidak mudah menyerah (handal) dalam menghadapi
permasalahan-permasalahn yang ditemuinya dilokasi permukiman/ UPT.
4.
Meningkatkan
semangat kerja sama dan kebersamaan sesama warga transmigran.
5.
Memperbesar
tanggung jawab para pembina, pelaksana dan pelatih/ pemandu pelatihan
transmigrasi.
6.
Meningkatkan
pemahaman dan profesionalisme para pembina, pelaksana dan Pelatih/Pemandu.
7.
Membuka
kesempatan untuk berperan kepada lembaga ekonomi pedesaan/KUD dalam kegiatan
warga transmigrasi.
8.
Menyempurnakan
program Pelatihan transmigrasi secara bertahap dan dinamis.
c.
Tujuan dan Sasaran.
Adapun tujuan dari kegiatan Bimbingan Pasca Pelatihan
Transmigrasi (BPPT) adalah antara lain :
1.
Menyelamatkan
kegiatan penerapan /aplikasi kemampuan
yang diperoleh warga transmigrasi dalam pelatihan, dari terjadinya kegagalan/permasalahan sehingga
dapat dipastikan terwujudnya keberhasilan/ penerapan kedalam
kemungkinankegiatan produktif sehari-hari secara lebih optimal.
2.
Diperolehnya
kepastian penerapan/aplikasi, meningkatnya kinerja individual maupun kelompok
produktif dilingkungan masyarakat transmigran secara kreatif dan sistimatis.
3.
Meningkatnya
kesejahteraan sosial maupun ekonomi warga transmigran sebagai dampak dari
keberhasilan program pelatihan.
d.
Bentuk/type ,Penekanan dan kriteria serta orientasi
Analisis BPPT.
Sebagaimana diketahui bahwa Bimbingan Pasca Pelatihan
Transmigrasi (BPPT) mutlak perlu
dilakukan , terlebih lagi bila diingat peranannya yang strategis baik sebagai wacana untuk memastikan penerapan hasil
pelatihan,maka ada 4 (empat) macam orientasi, bentuk/type yang dapat
dilaksanakan dalam terapy Bimbingan
Pasca Pelatihan Transmigrasi (BPPT)
antara lain :
1.Pembekalan (Retraining).
Pembekalan
(retraining) adalah bentuk /type BPPT yang diberikan kepada sekelompok warga transmigran untuk menunjang
keberhasilan penerapan kemampuan yang
diperoleh dari satu jenis pelatihan yang ditekankan kepada penambahan materi
baru.
Materi baru dimaksud
adalah materi yang tidakdiajarkan atau tidak terdapat dalam kurikulum/GBPP, namun dari hasil
analisis BPPT ternyata sangat dibutuhkan bagi alumni dalam upaya penerapan
kemampuannya dalam pengembangan usaha produktif yang dikembangkan dilokasi
permukimannya.
Contoh 1 :
Dalam pelatihan budidaya ternak
unggas, disebabkan sifat dari pelatihan yang relatif singkat, pada saat penerapannya
ditemui permasalahan atau kekurangan,
tentunya setelah dilakukan identifikasi ternyata diperoleh kesimpulan perlunya
penambahan pengetahuan/keterampilan tertentu yang sangat diperlukan sebagai
kemampuan tambahan bila ingin kegiatan produktif yang dikembangkan lebih
terjamin keberhasilannya, misalnya penambahan materi :
1.
Pembuatan alat penetas sederhana.
2.
Pengolahan/pengembangan
pemasaran.
3.
Penggalangan
permodalan
4.
Sanitasi dan
kesehatan lingkungan.
Contoh 2 : Dalam
Pelatihan Jahit Menjahit, materi
tambahan dapat
berupa materi :
1.
Cara mendesain.
2.
Cara padu padan
warna.
3.
Pemasaran. Dll.
Dengan
demikian dalam rangka terapi BPPT dengan type pembekalan harus dijamin adanya
transformasi pengethuan/keterampilan dibidang materi tersebut. Selain itu perlu
disertai dengan bantuan lain sebagai aspek pendukung keberhasilan lainnya
seperti alat dan bahan,pinjaman lunak berupa dana bergulir dan lain sebagainya.
2.
Penyegaran
(Refreshing).
Penyegaran atau refreshing adalah bentuk
BPPT yang diberikan kepada sekelompok
warga transmigran untuk menunjang keberhasilan penerapan kemampuan yang diperoleh dari satu jenis pelatihan yang ditekankan pada pendalaman materi yang sudah pernah
dipelajari dalam pelatihan dimaksud.
Meskipun materi yang diberikan
telah dipelajari, dan ada kurikulumnya, namun karena satu dan lain hal setelah diidentifikasi ternyata
penyebab kegagalan atau permasalahan
adalah berasal dari kurangnya tingkat kemahiran alumni pada materi tersebut, padahal
materi ini adalah kelompok inti dalam kurikulum . Setelah dilakukan analisis identifikasi maka disimpulkan adanya
kebutuhan Refreshing atau penyegaran sebagai berikut :
1.
Menyusun Ransum.
2.
Vaksinasi
3.
Perkandangan.
Maka ketiga materi
tersebut diputuskan menjadi materi pokok
dalam Refresihing, yang merupakan upaya pemahiran atau upaya meningkatkan akurasi (ketepatan) pemahaman.
Dan pada kesempatan
penyegaran ini sekaligus diberikan pula stimulan
(perangsang) semangat
dan motivasi mereka dalam melakukan
usaha produktif berupa bantuan
bahan/alat atau pinajaman lunak bergulir.
3.
Penguatan
(Reinforcing).
Penguatan atau Reinforcing adalah
bentuk /type BPPT yang diberikan kepada sekelompok warga transmigran untuk
menunjang keberhasilan penerapan
kemampuan yang diperoleh dari satu jenis
pelatihan yang ditekankan pada peningkatan kualitas aspek-aspek sikap
perilaku individu / kelompok (afektif domain).
Dalam konteks Penguatan
(Reinforcing)
ini, bimbingan pasca pelatihan dilakukan
dengan asumsi dasar bahwa, pelatihan yang dikonsepsikan salah satunya
untuk untuk menunjang dan mengembangkan keberhasilan pembinaan masyarakat ,
diperuntukkan bagi SDM transmigran yang berperan selaku objek yang
sekaligus sekaligus subjek/pelaku dari pembangunan transmigrasi.Beranjak dari
asumsi dasar ini maka mau tidak mau, suka tidak suka mutlak perlunya SDM yang
memiliki kepribadian yang kuat, baik secara individual maupun secara
berkelompok. Memikili kepribadian yang kuat artinya mereka mampu :
1.
Mengenali diri
sendiri dengan baik.
2.
Dapat menerima
diri dan lingkungannya dengan seadanya dalam arti kata dengan segala kekurangan
dan kelemahan dan keunggulan-keunggulannya.
3.
Tidak mudah
terpengaruh hanya berdasarkan pertimbangan emosional (tidak rasional).
4.
Tidak
berorientasi pada diri sendiri maupun kepuasan jangka pendek.
5.
Mengutamakan
kebersamaan atau kepentingan kelompok dan keuntungan jangka panjang.
4.
Pendampingan
(Expertising).
Pendampingan adalah
bentuk upaya BPPT yang diberikan kepada
sekelompok warga transmigran untuk menunjang keberhasilan penerapan kemampuan yang diperoleh dari satu jenis pelatihan yang ditekankan pada upaya penanggulangan permasalahn yang berkaitan dengan SDA,SDB,
serta aspek-aspek lingkungan lainnya.
Dalam pendampngan ini,
bimbingan pasca dilakukan dengan asumsi dasar bahwa, adanya tendensi warga
transmigran yang tidak/kurang berhasil dalam menerapkan kemampuan sebagai hasil
yang pernah diberikan cenderung lebih
disebabkan oleh faktoe-faktor SDA, SDB,
metodologi dan lingkungan, walaupun tidak berarti bahwa SDM sendiri bermasalah,
terutama pada ranah sikap (attitude).
Contoh; alumni
pelatihan budidaya kedelai atau cabe , padahal
petani telah mahir, terampil dalam menanam kedelai/cabe , namun ketika
diterapkan ternyata banyak spot-spot yang tidak tumbuh, sehingga hal ini
memberi dampak kebingungan dan
menurunkan rasa percaya diri serta
semangat warga yang lambat laun menyebabkab keputus-asaan untuk berbuat.
e.Spesifikasi Tekhnis BPPT.
Adapun tekhnik BPPT adalah sebagai berikut :
1.
Dilaksanakan di
UPT
2.
Jumlah peserta
30 orang
3.
Komposisi
peserta ± 35 % alumni pelatihan dan 65 %
warga masyarakat selektif.
4.
Materi ; hasil analisis dari tim identifikasi BPPT,
ditekankan pada aspek-aspek Pembekalan, penyegaran, penguatan dan pendampingan.
5.
Dilakukan dengan
cara luwes/ tidak kaku
6.
Pemandu ;
PSM atau sederajad yang memiliki
kemampuan untuk itu.
7.
Narasumber ;
pakar, praktisi yang relevan.
8.
Waktu ; 7 – 10
hari
9.
Fasilitas –
fasilitas lain ; konsumsi, ATK, bahan praktek, transport dan uang saku peserta,
pinjaman lunak bergulir, dll.
10. Metodologi ; Partisipatif dilengkapi dengan praktek
lapang, ceramah, diskusi, magang dsb.
f.
Tata Laksana Bimbingan Pasca Pelatihan .
a.
Identifikasi
Kebutuhan Bimbingan.
Identifikasi dilakukan
bersama alumni dan masyarakat (selektif) dengan menggunakan pendekatan RRA (Rafid Rural
Apraisal), dengan tujuan :
i.
Mendapatkan data
dan informasi.
ii.
Analisis
Informasi.
iii.
Pengumpulan dan
analisis data
iv.
Komunikasi.
1.
Perencanaan Identifikasi Kebutuhan Bimbingan.
Dalam kegiatan ini
dilakukan penentuan jenis pelatihan yang
akan dilakukan identifikasi kebutuhan bimbingan, sekaligus menentukan skala
prioritas dan sasaran identifikasi, termasuk rencana lokasi,menyusun tim
identifikasi, peranan dan tugas masing-masing anggota tim, lama identifikasi,
biaya dll.
2.
Persiapan Pelaksanaan Identifikasi.
Pada kegiatan ini
adalah penentuan waktu dan tempat , TOR,
laporan pelaksanaan, RKTL, Juklak, modul, pedoman wawancara,daftar ceklis dll.
3.
Pelaksanaan Identifikasi.
a.
Pengumpulan data
sekunder ; program dinas, program Balatrans, Kab, UPT dan instansi lainnya.
b.
Pengumpulan Data
Primer ; wawancara dengan Ka.dinas, Ka.balatrans, Ka.Dinas TkII, wawancara
dengan stake holder di UPT, dll.
4.
Pelaksanaan PRA
Thema.
Pada tahap ini adalah membuat tema dari kegiatan bimbingan pasca,
tim BPPT sebagai pihak luar,
5.
Penyusunan garis-garis program pembelajaran pada
BPPT.
6.
Penyusunan Rancangan kegiatan BPPT :
a.
Latar Belakang
Kegiatan.
b.
Tujuan dan
Sasaran Kegiatan.
c.
Lingkup
Kegiatan.
d.
Peserta BPPT.
e.
Pemandu/pelatih
BPPT.
f.
Narasumber.
g.
Tempat/lokasi.
h.
Waktu/lama.
i.
Materi/metodologi.
j.
Sarana/prasarana
dan media.
k.
Bantuan lunak .
l.
Mekanisme
bantuan lunak.
m.
Evaluasi,monitoring
dan suvervisi kegiatan.
n.
Akomodasi,komsumsi
peserta.
o.
Gaji/upah
p.
Biaya
perjalanan.
q.
Bahan-bahan lain
(ATK) dll.
Setelah Identifikasi benar-benar
siap barulah kegiatan BPPT berdasarkan hasil Identifikasi itu diprogramkan untuk dilaksanakan pada Tahun Anggaran berikutnya.
7.
Pelaporan.
Pada hakekatnya
pelaporan adalah upaya penyampaian informasi yang berkaitan dengan suatu
kegiatan tertentu.Dalam kegiatan BPPT ada 2 (dua) hal yang dilaporkan yaitu
kegiatan Identifikasi dan pelaksanaan BPPT itu sendiri.
a.
Laporan
Identifikasi.
b.
Laporan
Pelaksanaan BPPT.
@@@@@@@@@@
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
a.
Kesimpulan.
1. Pelatihan
merupakan salah satu kunci untuk membawa seseorang atau suatu organisasi
menjadi lebih baik dan efektif dalam mencapai tujuannya. Evaluasi yang
dilakukan pada setiap program adalah evaluasi terhadap aspek-aspek
yang menunjukkan respon selama pelatihan berlangsung.
2. Evaluasi peserta
merupakan suatucara untuk mengetahui peningkatan pengetahuan dan keterampilan melaluiPretest dan Post Test. Bagi peserta training,
evaluasi training dapat memberikan feedback berupa seberapa signifikannya
training tersebut mempunyai impact bagi pekerjaannya, perubahan bagi dirinya,
kecocokan program dan manfaat-manfaat lainnya.
3. Evaluasi
istruktur pelatihan adalah untuk memberikan feedback tentang apakah peserta
puas dengan isi program training, kedalaman meteri training, caranya mengajar,
caranya mendelivery ilmunya dan sebagainya.
4.
Untuk
pelatihan-pelatihan tertentu berdasarkan dari hasil Evaluasi,evaluasi pasca,
dapat diprogramkan Bimbingan Pasca
Pelatihan (BPPT) yang pelaksanaannya hampir sama dngan pelatihan,namun
bertujuan untuk lebih menyempurnakan penerapan hasil pelatihan oleh alumni.
b.
S a r a n.
1.
Agar pelatihan berjalan
lebih efektif dan efisien , seleksi peserta pelatihan harus benar-benar
selektif, agar hasil evaluasi tidak mengecewakan.
2.
Agar Pelatihan
berhasil guna, selain peserta yang selektif, sarana dan prasarana pelatihan
harus lengkap; ATK, alat praktek dll.
3.
Setiap evaluasi harus dapat disimpulkan agar dapat dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap
kekurangan yang ada.
4.
Perlu di
programkan Bimbingan Pasca
Pelatihan untuk mengoptimalkan hasil
pelatihan, tidak hanya berupa bantuan barang/dana.
5.
Dalam pelaksanaan
BPPT, tidak hanya pemberian bantuan materi berupa pinjaman lunak, tetapi ada
kelanjutan materi sehingga diharapkan pelatihan benar-benar dapat diterapkan
dengan optimal.
@@@@@@@@@
BAB VII
P E N U T U P
Demikian
Makalah Mengenai “ Konsep Pelatihan, Evaluasi Dan Bimbingan Pasca
Pelatihan Transmigrasi , dengan harapan
semoga Pelatihan yang diprogramkan akan
bermanfaat bagi masyarakat sesuai dengan tujuannya , bahwa Pelatihan mempunyai peranan penting dalam pembangunan
sumber daya manusia , agar tidak ada kesenjangan
(gap) antara tingkat kualitas SDM yang dibutuhkan dengan sumber daya manusia saat ini. Evaluasi
Pelatihan sangat penting dilakukan untuk
mengetahui sejauh mana hasil pelatihan sudah dapat diterapkan oleh alumni dan
tingkat efektifitas pelatihan, baik dari segi penyelenggaraan maupun pada
system atau metode pembelajaran yang dilaksanakan, pemahaman materi oleh para
Instruktur dan Pemandu dalam penyajian materi, serta faktor – faktor yang
mempengaruhi dalam penerapan hasil pelatihan, diperlukan kegiatan pemantauan
dan penilaian terhadap pelaksanan kegiatan pelatihan secara berkesinambungan,
selain dari itu seberapa banyak manfaat pelatihan dalam perkembangan, maka
perlu dilakukan evaluasi baik evaluasi selama pelaksanaan pelatihan dan sesudah
pelatihan.
Untuk mengoptimalkan manfaat penerapan hasil pelatihan
dalam kegiatan produktif sehari-hari
sangat perlu dilakukan bimbingan pasca pelatihan dengan berbagai
langkah,agar manfaat pelatihan benar-benar dirasakan masyarakat.
Padang, September 2016.
Mengetahui :
Ka. Balai Pelatihan
Transmigrasi
Penggerak Swadaya Masyarakat,
Prov. Sumatera
Barat,
Drs.YASRIZAL Dra.
MAIYARTI
NIP.
19590909 198003 1 008 NIP.19620522
199003 2 001
Referensi
1. Bahan-bahan
Pembelajaran Training Of Trainers (TOT).
2. Petunjuk Pelaksanaan TNA, Puslatrans 1994
3.
Petunjuk Pelaksanaan
Bimbingan Pasca Pelatihan.
Pusat Bina Pelatihan Transmigrasi 1998
5.
edratna.wordpress.com
6.
cenya95.wordpress.com
7.
Pengembangan Sumber
Daya Manusia ; DR.Soekidjo Notoatmodjo.
8.
Evaluasi Pekerjaan ;
Dov Elizur.